Friday, June 28, 2013

Hyull Story Part 9






Menikmati ice cream sambil mendengarkan musik. Hyull terlihat menikmati ice creamnya, terbukti dari banyaknya ice cream yang sudah ia santap.
“ kenapa lu? “ tanya Hyull ketika melihat Arsha yang seperti tidak menyukai keadaan yang sedang mereka alami.
“ maksud gw bukan begini.. “
“ terus Gimana dong? “
“ di kafe dong, bukan dimobil kayak begini.. ice creamnya juga bukan bungkusan begini, lu gimana sih. Ini sama aja gw makan bareng adik gw.. “
“ gw kan adik lu juga, lagian gw gak suka duduk di kafe, ribut. “
“ nah trus ini apa? Musik lu apa gak ribut, sampai sebesar ini volumenya. “
“ gak masalah, dari pada dengarin celotehan lu. “ menghabiskan empat bungkus ice cream merupakan hal yang biasa baginya.



    Tidak menghiraukan Arsha yang terus-terusan mengeluarkan kalimat yang tidak penting untuknya. Arsha yang dikenal berkarisma dimata gadis-gadis sekampus kini berubah seakan seperti inilah dirinya yang sebenarnya. Hyull berhasil merubahnya. Disela obrolan Arsha, handphone milik Hyull berdering, terpampang nama Divane disana, tidak perlu menunggu lama Hyull langsung mengangkatnya.
“ ya kak, ada apa? Hah, sekarang? Oke aku kesana. “ obrolan singkat itu diakhiri dengan kerutan di wajah Hyull, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi sehingga Divane memintanya untuk segera datang ke kliniknya.
“ siapa? “ tanya Arsha sambil membersihkan tangannya dari lelehan ice cream yang sudah meleleh.
“ bisa tolongin gw gak? “
“ apaan? “
“ antarkan gw kerumah teman.. “
“ ice cream gw belum habis nih.. “
“ buang ajalah, meleleh gitu juga, ntar kapan-kapan kita makan lagi, gw yang traktir. “
“ beneran? Di kafe ya? “
“ iya iya.. udah cepetan dibuang. “
“ iya.. ih sabaran kenapa sih. Siapa sih teman lu itu? Sampai segitunya. “

     Siang ini klinik terlihat sepi, Divane menutup kliniknya, Seharian ia mengurus tanamannya yang terdapat di halaman depan dan juga di taman belakang kliniknya. Merasa sudah menghiraukan tanamannya yang hampir rusak dikarenakan tidak diurus dengan baik olehnya. Sehari menutup klinik sepertinya tidak masalah baginya. Sore menjelang, begitu juga dengan rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya, ia percepat kerjanya sehingga tugasnya mengurus tanaman dapat selesai sebelum malam tiba. Bersandar di tiang lampu taman sambil menghabiskan air mineral guna mengembalikan ion tubuhnya yang telah menghilang bersamaan dengan keringat. Terdengar suara mobil memasuki perkarangan kliniknya, tidak perlu menebak, ia tahu itu siapa.
“ kamu kenapa? “ tanyanya kepada adiknya yang tampan nan rupawan. Dapat dengan mudah ia sadari penat di hati adiknya itu, tergambarkan dari wajahnya yang mendekati sempurna, sempurna indahnya.
“ aku minta minumnya dong. “ Dave duduk disebuah kursi taman yang terdapat dihadapan Divane. Menerima minuman yang diberi kakaknya, tanpa perlu lama-lama air mineral itu dihabiskan olehnya dalam satu kali tegukan saja. Jelas sekali bukan karena kehausan, tetapi menurut Divane itu dikarenakan terdapatnya sebuah atau bahkan beribu emosi yang sedang ia pendam.
“ ceritakan sama kakak.. “
“ minta minumnya lagi dong. “
“ dave.. “
“ aku ke atap dulu. “
“ dave..! “ Dave tetap melangkahkan kakinya menuju atap yang sudah menjadi tempatnya merenungkan segala permasalahan. Divane hanya bisa memakluminya, disaat Dave seperti itu, ia membutuhkan waktu untuk sendiri tanpa gangguan dari siapa pun. Terlintas dipikirannya untuk menelepon seseorang. “ aku telepon anak itu saja, lagian aku kan mau pergi, biar dia yang temani dave. Oke.. oke.. “

     Sore yang cerah tertutupi cahaya merah dari matahari yang harus menukarkan dirinya dengan bulan. Sungguh indah pemandangan langit disaat seperti itu. Matahari terbenam selalu menjadi tontonan yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Terlihat senyuman dibibirnya Dave. Sepertinya dia sudah bisa menenangkan emosinya. Tetapi, apakah hanya karena itu? tersenyum sambil menatap sunset, pandangannya tak luput dari aksi indah matahari tersebut. Apakah mungkin ia teringat dengan masa-masa itu? Masa dimana ia menemani seseorang menyaksikan sunset di.... Bali? Bali? Tiba-tiba saja ia tersentak lalu berdiri dari duduknya, Menggelengkan kepalanya sembari berjalan mendekati pagar pembatas. Dapat terlihat dengan jelas perkarangan depan klinik, Divane benar-benar serius disaat membersihkannya, kini halamannya terlihat bersih dan tanamannya juga terlihat lebih segar. Ia kembali tersenyum, bangga mempunyai saudara yang giat dalam melakukan apapun. Sehabis Divane pamit dengannya beberapa menit yang lalu, ia merasakan kesepian yang ternyata baru ia sadari. Disaat ia hendak turun kebawah untuk mengambil minuman, terdengar sebuah mobil berhenti didepan klinik, kontras membuatnya kembali membalikkan tubuhnya.
“ hyull? “ raut wajahnya berubah secara drastis. Entah senang atau marah, ia tidak tersenyum dan juga merengut, datar. “ divane? Apa dia yang menyuruhnya kesini? Hah, apa maksudnya melakukan ini? “

     Memiliki kepribadian yang tenang tetapi tidak pendiam membuat Hyull merasa sedikit terganggu disaat berada didekat Arsha, pria itu terlalu berisik baginya, kemana pernyataan gadis-gadis lain yang mengatakan bahwa Arsha itu cool dan cool?
“ klinik? Tadi lu bilang rumah. “ tanya Arsha setelah melihat bangunan yang ada disamping mobilnya.
“ depannya doang, belakangnya ya rumah. Makasih ya, gw masuk dulu. “
“ ntar lu pulangnya gimana? Apa gak gw tunggu aja? “
“ gw bisa naik taksi.. udah sana pergi. “
“ ye.. ngusir lu. Yasudah kalau gitu, gw pergi. “
“ oke. “ ia langsung masuk kedalam klinik dan mencari Divane. Kosong. Tak terlihat siapapun disana, baru ia sadari, papan dipintu bertuliskan closed. “ kemana kak divane? Terus ngapain suruh gw kesini? Kak.. kakak.. aku sudah sampai nih.. kakak dimana? “
“ dia keluar.. “ terdengar suara dari arah dapur, Hyull dapat mengenal suara itu, ia menghampiri Dave yang ternyata sedang mencari minuman didalam lemari es.
“ sejak kapan dia pergi? Terus ngapain suruh gw kesini? “ ia sudah duduk disalah satu kursi yang ada didapur. Tidak jauh darinya Dave sedang memilih minuman.
“ jadi dia yang suruh lu kesini? “
“ ia.. “
“ tunggu aja, gw rasa dia gak lama. “
“ halaman bersih banget, klinik tutup karena kakak bersihkan halaman seharian ya? “ ia dapat menebak dengan mudah.
“ ia, sebulan sekali dia seperti itu. “ bagaimana dia bisa tahu? Pikir Dave.
“ sebulan sekali? Haha, pantas aja tanamannya banyak yang gosong. “ ia tertawa dengan bebas, Dave terlihat seperti ingin ikut tertawa tetapi ia menahannya. Namun tawanya tidak bertahan lama, hujan turun dengan deras dan menghasilkan suara yang meresahkan Hyull. Dave merasakan perubahan ekspresi Hyull, tentunya ia mengetahui kenapa gadis itu berubah seperti itu, tidak perlu menunggu lama, Dave menarik tangan Hyull dan membawa gadis itu ke ruangan yang kedap suara. Disaat ia menggenggam tangan Hyull, dapat ia rasakan getaran tangannya yang menunjukkan seberapa takutnya Hyull pada saat itu.
     Mereka memilih membaca buku diruang perpustakaan mini milik Divane, Hyull terlihat menikmati bacaannya, Dave tidak membaca, ia sedang asik melukiskan sesuatu yang belum jelas gambarnya. Beberapa kali Hyull mencoba mencari buku lainnya, ia selalu mencatat setiap kalimat yang menurutnya bagus. Kali ini ia tidak dapat mengambil buku pilihannya, buku itu berada di rak paling atas, walaupun tubuhnya sudah termasuk tinggi tetapi masih tidak cukup untuk meraih tingginya rak teratas tersebut. Ia sudah mencoba untuk menjinjit, tetapi tetap tidak bisa.
“ gw sudah setinggi ini masih gak sampai juga? “ keluhnya pelan. Masih terus berusaha meraih buku pilihannya, tak terpikirkan baginya untuk meminta bantuan dengan Dave, pria itu terlalu asik, sayang sekali jika harus mengganggu waktu melukisnya.
“ ini terlalu mudah untuk gw raih. “ seseorang meraih buku itu, pria itu, Dave berada dibelakang tubuhnya, tidak jauh darinya, hanya beberapa centi, sangat dekat, Hyull yang kaget pun tanpa sadar membalikkan tubuhnya dan mendapatkan Dave yang sedang memegang buku pilihannya. Lima centi. Seperti itulah jarak mereka. Terlalu dekat untuk jarak antara pria dan wanita yang sedang sendiri. Dave sama sekali tidak menghindari itu, pria itu, kenapa dia menatap Hyull dengan tatapan seperti itu? Dan Hyull, ia malah terpaku didalam tatapan maut tersebut. Bisikan suara hujan membuat suasana seakin hangat, jarum jam seakan berhenti bergerak, Dave dan Hyull seperti tenggelam didalam tatapan hangat itu. Satu dua tiga detik, posisi mereka tidak berubah, keadaan semakin panas. Hyull juga tidak tahu mau berbuat apa, tubuhnya terkurung oleh tubuh atletisnya Dave. Dan pria itu, tanpa disadari wajahnya mulai bergerak ke depan secara perlahan, apa yang akan dia lakukan? Empat centi.. tiga centi.. semakin dekat, dapat Hyull rasakan hembusan napasnya, Hyull semakin terpaku dan tidak tahu mau berbuat apa, tubuhnya seakan membiarkan hal ini terjadi, dua centi... satu centi..
Tttar!
Buku yang berada digenggaman Dave pun terjatuh, sadar seberapa dekat posisi mereka pada saat itu kontras membuat Dave kaget dan segera menjauh. Hening. Salah tingkah. Seperti itu lah tingkah mereka pada saat itu. Hyull seperti pura-pura membaca buku yang tidak ia sadari posisi bukunya dalam keadaan terbalik, Dave yang menyadari tingkah laku Hyull hanya bisa tersenyum dibalik kertas lukisannya. Kali ini Dave yang terlihat salah tingkah, melihat apa yang telah ia lukis. Ia tidak menyadari, ternyata sedari tadi ia melukis gambar Hyull yang sedang membaca buku. Mereka berdua, ada apa dengan mereka berdua? Tidak ingin tenggelam dalam tingkah yang memalukan, Dave bangkit dari duduknya.
“ gw tutup pintu depan dulu. “ ucapnya sembari berjalan keluar.
“ tu,tunggu, gw ikut. “ katanya sambil mengikuti Dave, disaat hujan turun ia tidak berani jika harus seorang diri, mengikuti Dave merupakan jalan yang terbaik. Kenapa dia? Dave terpaku dibawah pintu, tangannya yang sudah memegang gagang pintu tak bergerak sama sekali, pandangan tertuju keluar, lurus pada satu tempat, dimana ada seseorang disana. Hyull mendekatinya, mencari arah pandangan Dave yang telah membuatnya terpaku seperti itu. Menyadari kehadiran Hyull, ia melepaskan gagang pintu tersebut lalu membalikkan badannya. Dengan tertatih ia berjalan meninggalkan Hyull, menaiki anak tangga tanpa sekalipun melihat kebelakang. Hyull dapat dengan jelas melihatnya, tidak, bukan Dave, tetapi gadis yang sedang berdiri dibawah derasnya hujan, tanpa payung, menatap kedalam klinik dengan tatapan penuh harapan. Keadaan gadis itu kontras membuat Hyull panik. “ gadis itu, dia kan si penjual bunga, pemilik kucing yang imut itu, sedang apa dia? Kalau dibiarkan dia bisa sakit. dave, dave! “ berlari mencari Dave, berharap Dave bisa menolong gadis itu, karena tentunya ia tidak akan sanggup melewati ganasnya hujan. Pria itu sedang duduk di balkon, menatap hujan, tetapi jika diperhatikan dengan jelas, ia bukan menatap hujan, tetapi ia sedang memikirkan sesuatu. “ dave, cewek itu.. “
“ sudahlah hyull, biarkan saja. “
“ apa? Lu gila? Dia bisa sakit! Buruan dave.. “
“ ... “ tidak ada reaksi darinya.
“ kalau gw bisa, gw bakalan tarik tu cewek sekarang juga, tapi gw gak bisa, dave, lu dengar gw gak sih. “
“ hyull! “ membentak Hyull dengan keras, Dave merasa menyesal telah melakukan itu. Ia melihat Hyull meninggalkannya dan sepertinya menuju pintu keluar. Tentu saja ia tidak akan membiarkan Hyull terkena hujan, dengan langkah cepat ia berlari mendekati Hyull dan menarik tangan gadis itu.
“ lu mau apa? Lu mau phobia lu kumat? “ dengan tangannya yang masih menggenggam erat tangan Hyull.
“ karena itu lu selamatin cewek itu, dia bisa sakit dave! “
“ gw, gw gak bisa! “
“ apa? Gak bisa? Lu kenapa sih? Apa yang salah? Kenapa lu jadi begini? “
“ ... “ menatap Hyull dengan lekat, berharap Hyull mengerti dengan keadaannya, tetapi pandangan Hyull menunjukkan hal lain, ia masih menunjukkan tatapannya yang memelas agar Dave segera menolong gadis itu. Genggaman Dave terasa sedikit melonggar, tidak lama dari itu ia sudah berlari menuju gadis yang masih saja berdiri disana. Hyull dapat melihat itu, Dave memapah gadis itu hingga ke kamar yang dulunya pernah ditempati Hyull disaat ia sakit. Ia memberikan pakaian hangat kepada gadis itu sedangkan Hyull membuat minuman hangat untuk menghangatkan tubuh gadis itu. Sesudah ia membuat minuman itu, ia kembali ke kamar untuk memberikan minumannya. Kali ini dirinya yang terpaku. Dari sela pintu yang tidak tertutup rapat, dapat ia lihat dengan jelas, Dave sedang memeluk gadis itu, Dave memeluk gadis itu? Hyull tersentak dan hendak menjatuhkan gelas yang sedang ia pegang, namun ia berhasil menenangkan dirinya. Ia letakkan gelas itu di meja yang terdapat disamping pintu, tidak mau menggangu, ia beralih ke teras dan duduk disana.
“ huh, syukur hujannya sudah berhenti, kalau kagak, gw gatau mau duduk dimana. Haha.. “ hanya tertawalah yang dapat menenangkan dirinya. Menenangkan? Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia tidak tenang? Disela kegelisahannya, sebuah mobil memasuki perkarangan klinik, sudah pasti itu Divane, timbul rasa nyaman pada dirinya, melihat Divane sedang berjalan menuju dirinya membuat ia semakin tenang.
“ kamu sedang apa diluar? Ayo masuk.. “ kata Divane sambil terus melangkahkan kakinya masuk kedalam kelinik.
“ kak, tunggu kak! Lebih baik kakak jangan masuk dulu. “ ia menarik tangan Divane.
“ loh, kenapa? Diluar dingin banget loh.. lagian baru selesai hujan, apa kamu gak takut? Ayo masuk. “
“ tapi kak.. “ ia tidak dapat menahan Divane. Tidak hanya Hyull, kini mereka berdua yang terpaku mendengar percakapan antara Dave dan gadis itu, percakapan mereka dapat didengar dengan jelas.
“ kamu tunggu aku kan? Gak lupa sama aku kan? Son.. kenapa kamu gak jawab pertanyaan aku? Kamu marah sama aku? Son.. jawab aku.. son.. “ Dave melepas pelukannya, tetapi ternyata bukan Dave yang memeluknya melainkan gadis itu yang memulainya. Gadis itu sedang menggenggam tangan Dave sambil terus menatap Dave. “ son.. kamu.. masih mencintaiku? “ mencintaiku? Mendengar perkataan gadis itu membuat Hyull merinding, tidak, tubuhnya melemas, hal ini sama seperti disaat ia tidak sengaja mendengar obrolan Dave bersama Divane beberapa waktu yang lalu. Tubuhnya melemas, sama halnya disaat ia melihat hujan turun. Kenapa? Hyull yang tadinya menggenggam tangan Divane kini tanpa sadar melepaskan genggamannya. Ia berjalan kembali ke teras dan duduk disana, dalam sepi dapat terdengar suara detak jantungnya yang dahsyat.
“ huh, ternyata sudah malam, kayaknya gw harus pulang. Telepon taksi, ya benar sekali, gw telepon taksi saja. “ tidak lama setelah ia memesan taksi, Divane datang menghampirinya, ia duduk disamping Hyull dengan senyuman yang begitu merekah. “ ih, senyum-senyum, seram kak.. “ candanya untuk menutupi keresahan.
“ dari pada diam termenung. “ kalimat yang sangat menusuk, menusuk tulang rusuk hingga ke jantung.
“ haha.. kakak dari mana sih? Suruh aku kesini tapi kakaknya gak ada.. “
“ tapi kan ada dave disini.. “
“ tapi kan kakak yang suruh aku kesini.. “
“ iya deh, sorry ya.. kakak ada keperluan mendadak. Kamu kenapa duduk diluar, bandel banget deh kamu, dingin banget loh, ntar kamu masuk angin.. “
“ haha, gak masalah kak, didalam gak enak.. “
“ gak enak? Kenapa? Karena mereka? “
“ hah? Bu,bukan.. “
“ terus? “
“ aku lagi nunggu taksi kak. “
“ kamu cemburu? “
“ apa? Haha, apaan sih,. “
“ tuh kan, jawaban kamu itu pasaran, orang kalau lagi cemburu jika ditanyain jawabannya biasanya begitu.. ayo jujur aja, cemburu kan? “
“ aku tuh.. wah.. taksinya sudah datang kak, aku pulang dulu ya.. dadah kakak.. “ tidak menghiraukan perkataan Divane yang semakin membuat jantungnya menggoncang logika, terus berlari menuju taksi. Sesampai ditaksi ia menghembuskan napas yang panjang seakan baru saja menahan nafasnya. “ syukur ni taksi nongol, kalau kagak, kan gak mungkin gw jawab, ia aku cemburu, ih, enggak banget. Hah, cemburu? Hah? Apaan nih, kok jadi begini sih? Ih! Pak ngebut ya, setra duta pak. “

     Berbagai macam makanan terdapat di meja makan, Kyunn menyiapkan semuanya untuk Hyull. Tersenyum sambil meletakkan piring dan gelas, sendok dan garpu, serbet dan kunci. Kunci? Kunci apaan?  Setiba Hyull dirumah, ia kaget bukan main melihat banyaknya makanan diatas meja makannya, tanpa perlu dipersilahkan oleh Kyunn, ia sudah langsung menyantap makanan tersebut.
“ kamu ini, bukan ganti baju dulu, cuci tangan dulu, gimana sih. “ katanya sembari duduk dihadapan Hyull dan ikut menyantap makanannya.
“ kan pakai sendok kak.. lagian, tumben banget lu beli makanan sebanyak ini. “
“ sudah dimakan aja, nanti baru ngomongnya. “
“ ngomong? Mau ngomong apa? “
“ makan saja dulu.. “
“ oke. “

     Tenggelam dalam sepi. Tak satupun dari mereka yang membuka suara. Dave terus-terusan memandang lantai dan gadis itu, Mona, ia hanya bisa memandangi Dave yaitu cinta pertamanya yang sudah ia tinggalkan begitu saja. Merasa bersalah akan perbuatan yang pernah ia lakukan, sehingga mengatakan sesuatu disaat seperti ini pun ia tidak mampu. Lukisan. Ia melihat lukisan yang sedari tadi masih digenggam Dave, lukisan itu sudah sedikit rusak dikarenakn terkena air hujan, tetapi gambarnya masih terlihat dengan jelas.
“ kamu masih melukis? “ tanya Mona. Mengamati lukisan yang berada digenggaman Dave. Senyumannya terlihat pahit, seakan mengetahui siapa gadis yang ada didalam lukisan itu.
“ ia. “ jawab Dave singkat.
“ gadis itu, kamu menyukainya? “
“ ... “ kini pertanyaan Mona berhasil membuat Dave menatapnya.
“ jadi benar? “
“ ... “ pria itu masih menatapnya tanpa suara sedikitpun.
“ dave.. jadi kamu benar-benar sudah melupakanku? “
“ ini sudah malam, aku akan mengantarmu. Pakai pakaian ini, aku tunggu kamu didepan. “ ia sudah menghilang dibalik pintu. Setetes air mata jatuh dengan lembut membasahi pipi Mona. Inilah balasan atas apa yang telah ia perbuat, pikirnya.

     Mereka sudah berada di dalam perjalan menuju toko bunga milik Mona. Dave masih seperti tadi, tidak bersuara. Mona masih saja berusaha menahan air matanya, bagaimanapun ia tidak pantas memperlihatkan air mata ini kepa Dave. Setiba mereka disana. Dave turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mona, didalam diamnya, ternyata pria itu masih memperhatikan gadis itu. Ia juga memakaikan pakaian hangat yang ditinggalkan Mona di dalam mobil.
“ dave.. “ panggil Mona dengan lembut disaat Dave memakaikan pakaian hangat itu ketubuhnya.
“ ya? “ kali ini ia menjawabnya.
“ kamu menyayangiku? “ air matanya tak dapat ia bendung lagi. Pria itu, ia menggerakkan jarinya dan menyentuh pipi gadis itu dengan lembut, menyeka air mata itu, dan memeluknya.
“ ya, aku sayang kamu. “ dalam pelukan itu yang mengatakannya.
“ benarkah? “
“ sudahlah, ini sudah malam, kamu harus istirahat, dan jangan lupa minum obatnya. Aku pergi dulu. Dan ingat, jangan lakukan hal bodoh seperti tadi lagi. “ melepaskan pelukannya lalu masuk kedalam mobil. Dalam hitungan detik mobilnya sudah meluncur dan tak terlihat lagi.
“ ya, kamu memang menyayangiku, tapi kamu tidak mencintaiku dave.. “

     Perjalanan yang hampa. Menyetir didalam sepinya malam membuatnya semakin meratapi kesedihan yang sedang ia alami. Dipertemukan kembali dengan orang yang dulunya ia cintai dan telah meninggalkannya begitu saja, ia terpaksa harus membendung perasaannya, melupakan segalanya, bersusah payah ia lakukan, disaat ia berhasil, gadis itu kembali. Apa yang harus ia lakukan? Ia sudah memasuki daerah Setra Duta, pikirannya masih dipenuhi dengan kenangannya bersama Mona, merasa kesal dengan dirinya yang ternyata masih memikirkan gadis itu, ia menekan gas dengan kencang, tidak memperhatikan sekitarnya, sorotan matanya tajam kedepan. Semakin kencang semakin menegangkan. Tapi dalam waktu sedetik ia langsung menekan remnya dan menutup kedua matanya, mobil terhenti dengan paksa. Nafasnya menjadi tak beraturan, perlahan ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepalanya kekanan, melihat dengan jelas rumah yang berdiri kokoh disana. Kenapa dia bisa disini? Ini rumah Hyull.. tatapannya melemah, sekejap kenangannya bersama  Mona musnah sudah. Rumah itu, tanpa ia sadari ia memutarkan mobilnya dan melewati gang dimana rumah Hyull berada, disaat ia kan melewati rumah itu, tidak tahu kenapa keinginannya untuk menekan rem membesar, seakan ada yang membisikkan kepadanya untuk menghentikan mobilnya sejenak. Saat itulah ia baru menyadari bahwa ia telah membiarkan Hyull pulang seorang diri dimalam hari yang tentunya berbahaya. Menyesali hal itu, tadinya ia benar-benar lupa dengan keberadaan Hyull. Kembali menekan gasnya menuju rumahnya. Sesampai ia dirumah, tanpa memperhatikan kehadiran seseorang, ia terus berjalan ke kamarnya dan mengunci pintunya.
“ bibi.. ada apa dengannya? “ tanya seorang wanita kepada Buk Evi.
“ saya kurang tahu nyonya, sepertinya ada masalah dengan teman-temannya.. “ jawabnya dengan sopan.
“ teman? Sejak kapan dia memiliki teman, setelah mona, apa ada lagi? “
“ sepertinya begitu nyonya.. “
“ baiklah, saya mau istirahat dulu. Tolong rahasiakan kedatangan saya dengannya, sepertinya dia tidak menyadari keberadaan saya. “ wanita itu melangkah dengan anggunnya. Meninggalkan Buk Evi yang sedang memikirkan keadaan Dave. Tidak biasanya tuannya bertingkah seperti itu.
“ ada apa dengan tuan ya? Sepertinya aku harus menanyakannya dengan non divane. Dia pasti mengetahui penyebabnya. “ mengambilnya handphonenya dan dengan lihai ia mencari kontak Divane. Telepon sudah tersambung, terdengar suara Divane disana.
“ halo bi.. ada apa? “ kata Divane.
“ maaf non kalau saya mengganggu. “
“ ia ada apa bi? Kok malam-malam begini telepon saya? “
“ begini non, sepulang tuan dave, wajahnya muram dan tidak memperdulikan siapapun.. bahkan dia tidak tahu kalau nyonya sudah berada dirumah. Kira-kira non tau gak kenapa tuan begitu? Saya kok jadi khawatir, tuan sudah makan atau belum saya juga tidak tahu.. “ Buk Epi terlihat sangat mengkhawatirkan keadaan Dave.
“ haha.. bibi ini. Kok malah perhatian bibi dari pada mama? Mama sekarang dimana? “
“ nyonya sudah berada didalam kamarnya, sehabis non divane mengantarnya kesini, ia menunggu tuan di ruang tengah, tapi setelah diacuhkan begitu saja, ia langsung masuk kedalam kamarnya. “
“ oh, biarkan saja anak itu bi, kalau lapar pasti dia keluar cari makanan, kalau mama tanyain, bilang saja besok saya kesana, tadi saya tidak bawa pakaian jadinya gak bisa tidur disana.. “
“ baik non.. “ Buk Evi menyudahi panggilannya. Disisi lain, ternyata Nyonya yang ia maksud sedang memperhatikannya.
“ tidak salah aku meninggalkan anak itu kepadanya. Dia bahkan lebih memperhatikan anak itu dibandingkan denganku. “ senyumannya mengakhiri malam itu. Malam yang panjang bagi Dave, malam yang meresahkan bagi Hyull, dan malam yang menyenangkan bagi Divane.

     Dave sudah mengakhiri malamnya, Tapi tidak dengan Hyull. Selesai menyantap makan malamnya bersama Kyunn. Saudara satu-satunya itu memberikannya sebuah kunci, bukan kunci biasa, karena kunci itu dapat membuat emosi dan perasaan Hyull berkecamuk.
“ kak, sebenarnya ada apa ini? Kunci ini, kenapa kunci ini ada sama lu? “ mengamati kunci yang sedang ia sentuh, kunci yang tentunya sangat ia kenal.
“ kakak merenovasi rumah itu Hyull.. bukannya rumah itu sudah.. “
“ apa? “ Hyull memotong pembicaraannya. “ renovasi? Lu gila? Gimana bisa lu lakukan itu tanpa persetujuan dari gw? “
“ hyull.. biarkan masa lalu itu.. “ suara Kyunn melemah, walaupun ia merasa bersalah, tapi hanya itu jalan satu-satunya agar adiknya tidak tersiksa akan masa lalunya.
“ biarkan? Kak, sepahit apapun itu, itu hidup gw! Dan lu, lu udah merusak semuanya, merusak kenangan gw sama papa dan mama! “
“ hyull.. kakak gak bermaksud seperti itu.. kamu salah paham.. “
“ terus apa? Apa alasan kakak melakukan itu? “
“ rumah itu sudah terlalu rapuh, jika tidak segera dibenarin akan tidak akan bertahan lama.. tenanglah, kakak tidak merubah pintu depan.. pintu yang selama ini menjadi saksi kesepian kamu, kakak tahu itu.. “
“ ... “ ia terdiam, terlalu menjinakkan emosi yang seharusnya tidak perlu seperti itu. Ia letakkan kuncinya diatas meja, beralih kekamar, hari ini sangat melelahkan, meninggalkan Kyunn yang masih terpuruk akan kesalahan yang ia buat. Salah atau tidak, tidak ada yang tahu. Hyull yang merasakan, hanya dia yang bisa membenarkan.

next part  10

0 komentar: