We’re
Different
Munculnya
kuncup-kuncup bunga pohon plum (ume). Dan setelah bunga pohon plum berakhir,
munculah kuncup-kuncup bunga paling terkenal di Jepang, bunga Sakura. Musim
yang sangat dinanti. Berakhirnya musim dingin dan tak bersahabat membuat musim
ini ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Walau mekarnya bunga sakura tidak
berlangsung lama, hanya satu hingga dua minggu, itu tidak membuat warga jepang
bersedih, bahkan mereka akan sangat memanfaatkan waktu itu, seperti yang
dilakukan Hanami.
Gadis itu memanfaatkan keindahan pohon sakura tersebut dengan cara tidur dibawahnya. Bunganya yang bermekaran akan terlihat rimbun dan akan semakin menyejukkan suasana. Bajunya yang kebesaran telah menutupi hampir seluruh tubuhnya, rambutnya yang hanya sebahu tak kuasa menahan terpaan angin sehingga membuat rambutnya terlihat berantakan. Namun sayang, waktu bersantainya dirusak oleh sebuah benda, sebuah benda yang melayang dan mengenai tepat dikepalanya.
Gadis itu memanfaatkan keindahan pohon sakura tersebut dengan cara tidur dibawahnya. Bunganya yang bermekaran akan terlihat rimbun dan akan semakin menyejukkan suasana. Bajunya yang kebesaran telah menutupi hampir seluruh tubuhnya, rambutnya yang hanya sebahu tak kuasa menahan terpaan angin sehingga membuat rambutnya terlihat berantakan. Namun sayang, waktu bersantainya dirusak oleh sebuah benda, sebuah benda yang melayang dan mengenai tepat dikepalanya.
“ hey! Apa kau tidak mendengarku?
Aku sudah memanggilmu berkali-kali, apa kau sengaja mengacuhkanku? Aku akan
melaporkan ini ke okasan! (ibu) “ teriak seorang wanita yang berada tidak
jauh darinya. Wanita cantik itu terlihat sedang mencari kaleng minuman yang
lainnya, dan sekarang hendak melemparnya kembali. Namun sayang, botol itu tidak
mengenai sasaran, karena Hanami berhasil menangkap botol tersebut.
“ kenapa kau menggangguku! Apa
kau tidak lihat aku sedang tidur? Kusso!
(sialan!) “ bentaknya yang kembali melempar kaleng itu. Tak terduga olehnya,
kaleng itu mengenai lengan wanita itu, adiknya, tepatnya yaitu saudara kembarnya.
Hal tersebut membuat adiknya menangis, sang ibu yang mendengar tangisan itu pun
langsung berlari menghampiri anaknya, anak kesayangannya.
“ kau kenapa? “ tanya ibunya
dengan panik.
“ dia melukaiku, kaleng ini, dia
melempar kaleng ini ke arahku.. “ ujarnya sambil menangis. Hanami yang mendengar
perkataan adiknya hanya bisa tersenyum.
“ apa yang telah kau lakukan!
Kenapa kau selalu melukainya! Sini kau, aku akan menghukummu! “ Menahan
sakitnya pukulan bambu yang mengenai tepat pada betisnya. Pukulan itu berulang
kali ia rasakan, tak ada lagi rasa perih disana, pukulan ini sudah menjadi
santapannya. Sang ibu yang lebih menyayangi Yumiko, yaitu adiknya, tidak pernah
bersikap baik terhadapnya. Mungkin dikarenakan perbedaan yang terdapat pada
diri mereka, walau mereka dilahirkan dengan waktu yang hampir bersamaan, Yumiko
terlahir dengan wajah yang cantik, sedangkan Hanami, kecantikannya memudar
dikarenakan banyaknya pukulan yang ia dapatkan membuat tubuhnya dipenuhi dengan
berbagai macam bekas luka. Sang ibu yang sering memukulinya tidak pernah
menyesali perbuatannya itu, Hanami sendiri tidak pernah mengetahui penyebab
sang ibu membencinya, walau begitu ia
masih beruntung memiliki seorang ayah yang jauh menyayanginya. Kini ia terduduk
di kursi kayu yang terlihat rapuh, mengelus kedua betisnya yang mulai terlihat memar.
“ Nami.. kemarilah.. “ panggil
ayahnya dari kejauhan. Mendengar suara ayahnya ia kembali bersemangat dan
langsung menghampiri pria tua itu.
“ apa yang harus aku bantu? “
katanya dengan lirih.
“ ada apa dengan suaramu? Kau
sakit? bantu aku bawa sayur ini. “
profesi ayahnya yang sebagai petani membuatnya banyak menghabiskan waktunya
dikebun. Dan sebagai anak yang baik, sepulangnya bersekolah ia selalu
menyempatkan diri untuk membantu ayahnya. Seperti yang ia lakukan saat ini,
membawa sayuran yang baru saja dipetik, sayuran itu akan dijual ke juragan
sayuran, dan hasilnya akan diberikan kepada ibunya. “ tunggu dulu, ada darah
dikeningmu. “ kata ayahnya ketika menyadari adanya darah yang mengalir dikening
anaknya. “ apa dia menghukummu lagi? Apa yang kau perbuat sehingga dia
menghukummu? “
“ semua itu diluar keinginanku,
aku memang bersalah. Aku pergi dulu, juragan pasti menunggu. “ berlari
mendahului ayahnya. Melewati perkebunan milik penduduk didesa tersebut. Desa
yang diakui sebagai desa terindah di negeri sakura. Desa
itu terkenal karena adanya sebuah desa kecil yang menjadi tempat berdirinya
rumah-rumah tradisional Jepang yaitu gassho-zukuri. Sebagian besar wilayahnya
tertutupi hutan, walau begitu masih ada sungai Shokawa yang menjadi tempat
bermainnya Hanami bersama penduduk desa yang lainnya. Desa tersebut yaitu desa
Shirakawa.
Perbedaan tidak harus disesali. Itulah
yang ada dipikiran Hanami. Status mereka yang sebagai anak kembar selalu
menjadi bahan omongan orang, banyak yang tidak mempercayai status mereka, itu
dikarenakan keadaan fisik mereka yang jauh berbeda, Yumiko sangat rajin merawat
tubuhnya, sedangkan Hanami tidak pernah sekalipun berpikiran untuk melakukan
itu, pekerjaan berat yang ia hadapi membuatnya tidak memiliki waktu untuk
melakukan hal-hal seperti itu. Tidak hanya fisik, sikap mereka juga berbeda,
Hanami yang terkenal dengan keramahannya memiliki banyak teman terutama di
kalangan petani, mungkin dikarenakan kebaikannya yang sering membantu mereka,
sedangkan Yumiko, ia terkenal dengan kesombongannya, hanya beberapa pria yang mau
berteman dengannya dan juga diperbudak olehnya, pria-pria tersebut akan
melakukan apapun yang ia perintah demi mendapatkan cintanya.
“
wah, sayuranmu segar sekali, oh Nami, keningmu berdarah, apa okasan memukulmu lagi? Kenapa dia begitu
kejam terhadapmu? “ kata si juragan.
“
ah, tidak.. ini hanya luka biasa.. “ ujarnya mencoba menutupi.
“
kau tidak bisa membohongiku, yasudah, ini kuberikan untukmu lebih, simpanlah
uang ini, kau pasti akan membutuhkannya. “ melihat semangatnya membuat siapapun
menyayanginya. Seperti juragan tersebut yang selalu memberinya bayaran lebih
dari yang semestinya.
“
arigato gozaimasu! (terima kasih!)“
pulang kerumah dengan senyumnya yang merekah. Sepanjang perjalanannya kerumah,
ia selalu menegur atau bahkan membantu mengangkat barang bawaan para petani,
berbincang sejenak lalu kembali kerumahnya.
Terlihat dua buah koper didepan pintu
rumahnya, ia merasa ada sesuatu yang telah terlewatkan, tanpa menunggu ia
langsung masuk kedalam rumah. Berantakan. Disudut ruangan terlihat orangtuanya
sedang berbincang, raut wajah ayahnya terlihat menyedihkan. Sedangkan ibunya,
wanita tua itu terus-terusan membentak suaminya dan mengatakan sesuatu yang
membuat Hanami tercengat.
“
aku sudah tidak tahan hidup denganmu! “ kalimat itulah yang Hanami dengar.
Setelah ibunya mengatakan semua yang ada dibenaknya, ia langsung menarik Yumiko
yang sedang duduk manis sambil menyaksikan apa yang terjadi dihadapannya.
Hanami yang tidak ingin berpisah dengan adiknya pun menarik tangan Yumiko
dengan kuat.
“
kau! Jangan pergi, kumohon jangan! “ katanya dengan keras. Sejujurnya, ia lebih
memilih dihukum setiap harinya dari pada harus berpisah dengan adiknya dan juga
ibunya.
“
lepaskan aku! “ Yumiko berusaha untuk melepaskan genggaman Hanami.
“
okasan komuhon, jangan pergi, apapun
yang kau perintahkan, aku akan melakuakan semua itu asalkan kalian tidak pergi,
kumohon.. “ ucapnya dengan suara yang tersendat.
“
enyahlah! “ Yumiko menatap Hanami dengan tatapan yang begitu menakutkan,
tatapan yang tidak pantas ditujukan kepada orang sebaik Hanami, tatapan yang
penuh kebencian itu membuat Hanami terdiam. “ apa kau lupa, kita berbeda! “
mematung dan tak kuasa menahan air mata yang mengalir perlahan. Kini ia hanya
bisa mengamati kedua orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya dan juga
ayahnya, tanpa mengetahui kemana tujuan dua wanita itu. Ternyata waktu
sesingkat itu. Pikirnya.
Malam ini mereka lewatkan begitu saja,
tanpa menyentuh makanan apapun. Ayahnya yang sedari tadi tidak juga keluar dari
kamarnya membuat Hanami semakin cemas akan kesehatannya. Berulang kali ia
mencoba membujuk ayahnya untuk segera mengisi perutnya, tapi ucapannya tidak
mendapatkan jawaban. Hening. Tak terasa pagi tiba lebih awal, sepinya kehidupan
yang mereka alami membuat hari-hari mereka semakin singkat. Ditambah penyakit
paru-paru sang ayah yang bertambah parah, dan biaya menjadi kendalanya, untuk
menutupi kekurangan, ia menggantikan pekerjaan ayahnya dan meninggalkan
sekolahnya. Lantas seperti itulah kehidupan mereka setelah kepergian dua orang
yang sangat mereka sayangi.
Satu tahun setelah kepergian adik dan
ibunya. Musim semi kembali menghampiri harinya. Seperti biasa, disaat bunga
sakura bermekaran, yang ia lakukan yaitu tidur dibawah pohon, menikmati udara
yang sejuk, mengamati keindahan bunga sakura, atau sekadar menghilangkan penat
dengan mengumpulkan bunga sakura yang mulai berguguran dikarenakan terjangan
air hujan dan hempasan angin. Musim semi adalah hari yang ceria. Seperti
pribahasa jepang ‘Fuyu kitarinaba, haru tookaraji’.
Banyak orang memulai lembar baru mereka di musim semi, menjadi murid di
sekolah baru, mahasiswa di universitas baru, pegawai di kantor yang baru,
pindah ke rumah baru, dan menikah. Dan Hanami, di musim semi ini, ia juga melewatinya
dengan hal yang baru. Hanya seorang diri. Sang ayah telah meninggalkannya tiga
bulan yang lalu dikarenakan penyakit paru-parunya yang semakin mengganas. Tapi
hebatnya, tak pernah sekalipun ia meneteskan air mata, kepergian ayahnya
bukanlah sesuatu yang harus ia tangisi, seperti yang terakhir kali ayahnya
katakan.
“
apa yang selama ini kau alami tidaklah penting, yang terpenting adalah
bagaimana cara kau menghadapinya. “ kalimat itu selalu melayang dipikirannya.
Tidak hanya itu, masih ada satu hal lagi yang terus-terusan ia pikirkan,
sebelum ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya, ia memberikan selembar kertas
yang berisikan sebuah alamat.
“
kenapa dia memberikanku alamat ini? apa aku harus mencari tahu? Kyoto? Jauh
sekali.. “ ucapnya di dalam sepi.
“
akiramenna... (jangan putus asa)
ayahmu pasti meninggalkan sesuatu untukmu, aku sangat mengenal kepribadiannya,
dia orang yang bertanggung jawab, pergilah, cari alamat itu. Ganbatte! (semangat) “ ujar salah satu
tetangganya yang merupakan teman dekat ayahnya. Mendengar perkataan tetangganya
itu, keinginannya untuk mencari tahu pun meningkat.
“
ya, mereka benar. Aku harus menghadapinya! Ganbatte!
“
‘The Capital of City’ atau Kyoto Perfecture.
Salah satu kota di Jepang yang mempunyai reputasi sebagai kota terindah dengan
berbagai macam bangunan tradisional kuno dan kuil tertua dijepang. Kota yang
dikenal dengan sebutan kota seribu kuil ini menawarkan beragam akomodasi kepada
para wisatawan yang datang kesana, termasuk rumah-rumah tradisional yang masih
diabadikan bahkan disewakan untuk setiap wisatawan yang ingin merasakan gaya
hidup di kota Kyoto. Saat ini Hanami berada di kawasan Gion. Gion merupakan
distrik geisha di kota Kyoto. Terletak disekitar Shijo Avenue antara Yasaka
Shrine di timur dan sungai kamo di barat. Disekitaran Gion terdapat banyak
toko-toko, restoran dan Ochaya (teahouse) dengan bergaya jepang tradisional.
Dan kini, Tepat dihadapan Hanami, terdapat sebuah Town House yang biasa disebut
Machiya. Berbeda dengan wisatawan lainnya, kedatangannya kesana bukanlah untuk
berlibur, sesuai alamat yang ada ditangannya, jelas sekali bahwa Machiya
tersebutlah jawabannya.
“
kenapa otousan (ayah) menyuruhku
kesini? “ pikirnya. Wanita itu masih meragukan kebenaran yang telah ia dapatkan.
Memperhatikan keadaan rumah yang ada dihadapannya, rumah tradisional itu
terlihat terawat, segala sesuatunya tersusun rapi.
“
konnichi wa.. (selamat siang) “ sapa
seorang wanita tua. Wanita yang baru saja keluar dari rumah tersebut terlihat
anggun dengan kostum ala geisha. Menyapanya ramah, belum juga menerima jawaban
dari Hanami, wanita itu langsung melontarkan kalimat yang berhasil membuat Hanami
tenang. “ kau, mungkinkah kau putrinya Yoshi? “ Yoshi merupakan nama dari ayahnya.
Dikarenakan masih shock, Hanami hanya mengangguk. “ ah, namamu Hanami, bukan?
Masuklah.. “ tak perlu berlama-lama, wanita berkostum geisha itu langsung
menariknya masuk kedalam rumah. Memberikannya segelas Gyokuro (jenis teh hijau yang termahal). “ minumlah, teh ini aku
persiapkan untukmu. Jangan sungkan-sungkan, lakukan apapun yang kau mau, jika
kau memerlukan sesuatu, kau bisa mengatakannya padaku. “ jelasnya dan hendak
pergi. Hanami yang belum mengerti dengan apa yang ia katakan pun tersentak.
“
tunggu! Sebelumnya aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, ah.. tidak, banyak
yang ingin kutanyakan padamu. “ katanya dengan sambil menggenggam erat lengan
wanita itu.
“
Akira, itu namaku. Kau tidak perlu khawatir, aku bersahabat dengan Yoshi sejak
kami duduk disekolah dasar, dan kau, aku sudah mengetahui semua tentang dirimu
darinya. Sekarang aku sedang sibuk, kau naiklah keatas, kamar paling sudut, itu
kamarmu, pintunya tidak terkunci, istirahatlah, setelah pekerjaanku selesai,
aku akan menghampirimu. “ setelah mengatakan itu, ia pun menghilang tertutupi
wisatawan yang melintas disana.
Rumah ini masih sangat kental akan budaya
kunonya seperti terlihat dari kelengkapan rumah yang kuno dan antik, termasuk
furnitur, dapur, lesehan sampai kamar mandi terbuka dilengkapi dengan bak-mandi
semacam onsen yang unik. Namun rumah ini terlihat sepi, tak terlihat seorang
pun disana, hanya dirinya.
“
bukankah kamar-kamar ini disewakan? Kenapa tidak ada satupun manusia disini? “
ujarnya sambil berjalan menuju kamar yang Akira maksud. “ wanita tadi, kenapa
aku begitu tenang disaat berada disampingnya? Apa benar dia sahabat otousan? “ panjangnya lorong membuatnya
kelelahan. Ransel yang bergantungan dipundaknya dan kotak yang ada di
pelukannya sangat berat untuk dirinya bawa seorang diri. “ seharusnya kotak ini
kusimpan saja, tapi aku tidak bisa berpisah dengan barang ini, apa aku masih
bisa bertemu mereka? Yumiko.. apa kau sehat? Okasan, bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja? Apa kalian
merindukanku? Aku sangat merindukan kalian.. “ pikirnya dalam diam. Sambil
terus melangkahkan kakinya menuju kamar yang terletak disudut lorong.
“
yatta! (berhasil), wuhu.... “
terdengar suara seseorang dari pintu yang ada disamping Hanami. Suara itu
berhasil membuat Hanami tersentak dan dengan reflek menjatuhkan kotaknya. Hal
hasil semua yang ada didalam kotak tersebut berhamburan dilantai. Ia langsung
cepat-cepat mengumpulkan semuanya. “ kau kenapa? Apa mau aku bantu? “ seseorang
keluar dari pintu dan menegurnya. Tanpa ekspresi ia menawarkan bantuannya.
“
ah, tidak perlu.. “ jawab Hanami tanpa melihat asal suara tersebut.
“
kau baru saja masuk? “ tanyanya lagi.
“
hai! (ya) “ masih sibuk mengumpulkan
semua barangnya.
“
kau cuma sendiri? “
“
hai! “
“
apa kau sudah terbiasa berbicara tanpa memperhatikan lawan bicaramu? “
“
hai! “ terdiam. Ia bahkan tidak
mengetahui secara jelas apa yang sedari tadi pria itu tanyakan. Tapi kali ini,
pertanyaannya melekat dengan keras ditelinganya. Kontras membuat langsung
mencari asal pertanyaan itu. “ kakkoi.. (tampan)
“ pikirnya. “ jadi, sedari tadi pria ini yang bertanya kepadaku? “ tambahnya.
“
hah, kau lucu sekali. Apa sedari tadi kau mendengarkan perkataanku? “
“
... “ sedikit malu-malu, wanita itu hanya menggelengkan kepalanya.
“
hahaha. Baiklah, aku maafkan. Sini biar aku bantu. “ ia tersenyum kepadanya.
Membantunya mengutip semua barang bawaannya. “ kau masih memainkan ini? “
tanyanya disaat mengambil mainan yang berserakan itu.
“
ah, lie (tidak). Semua ini hanya
sekadar kenangan bagiku. “ jelasnya.
“
kau kehilangan seseorang? Otousan?
Okasan? Atau mungkin adikmu? “
“
semuanya. “ jawabnya singkat.
“
hah? “ pria itu tercengat mendengar jawabannya. “ kau bercanda? “
“
apa aku terlihat bercanda? Arigato,
kau telah membantuku. Aku masuk kekamar dulu. Sumimasen.. (permisi) “
Diatas meja yang berukuran sedang,
terdapat irisan ikan laut mentah nan segar, ada juga saus, kecap asin, dan juga
wasabi. Wasabi merupakan sambal hijau pedas yang biasanya disajikan bersama
sashimi. Hanami yang tidak pernah menyantap makanan seperti itu pun tak kuasa
menahan cacingnya yang terus-terusan memintanya untuk segera melahap sashimi
tersebut.
“
makanlah.. kau pasti belum pernah mencobanya. Mulai saat ini, aku akan masakan
makanan yang enak untukmu.. “ Akira terlihat manis dengan gaun yang ia kenakan.
Sekilas ia terlihat seperti seorang ibu yang sedang memperhatikan anaknya.
Hanami dapat merasakan itu, kehangatan yang terpancar dari matanya. “ jangan
hanya menatapku, makanlah makanan yang ada dihadapanmu.. “
“
ah, baiklah. “ memegang sumpit dan sendok, menatap sashimi yang ada
dihadapannya.
“
itadakimasu! (selamat makan) “ suara
itu kembali mengagetkan Hanami. Tidak hanya suaranya, keberadaan seorang pria
disampingnya yang tanpa diketahui olehnya membuatnya menjatuhkan sumpit dan
juga sendoknya.
“
Tatsuya! Kau mengagetkannya! “ tegur Akira. Pria yang ternyata bernama Tatsuya
itu langsung mengutip sumpit dan sendok tersebut, lalu melangkah kedapur dan
kembali dengan membawa sumpit dan sendok yang baru.
“
ini, suman.. (maaf) “ tersenyum
kepada Hanami dan juga Akira. Setelah itu sesuap sashimi sudah berada
dimulutnya. Mengunyah sashimi dengan semangat. “ kenapa melihatku? Makanlah.. “
katanya sembari mengunyah sashiminya.
“
jangan berbicara disaat mengunyah! “ Akira kembali menegurnya.
“
dia melihatku terus, bagaimana aku bisa makan.. “ ujarnya yang masih asik
mengunyah.
“
itu dikarenakan suaramu yang terlalu berisik.. “
“
iya.. iya.. aku akan diam. “ suasana menjadi tenang. Tanpa suara Tatsuya yang
menurut Akira terlalu berisik. Tapi tidak dengan Hanami, sebenarnya yang
membuatnya menatap pria itu dikarenakan sikapnya yang ceria. Pria itu berhasil
membuat keadaan menjadi ramai, seperi dirinya yang dulu, Hanami selalu
menjalani hidupnya dengan ceria, namun untuk saat ini, ia masih belum percaya
diri untuk menunjukkan itu, lingkungan barunya masih terlalu asing baginya, ia
membutuhkan sedikit waktu untuk semua itu.
Gion adalah kawasan yang penuh pesona.
Sungai yang mengalir disepanjang Gion Shirakawa terlihat menakjubkan akan
keindahannya, ditambah barisan pohon bunga sakura berwarna pink yang menjuntai
tinggi. Tak heran jika melihat wisatawan yang mengambil banyak foto disana.
Tempat tinggal Hanami yang terletak tidak jauh dari sana membuatnya dapat
dengan mudah bermain kesana dan menikmati keindahan bunga sakura tersebut.
“
disaat seperti ini, bayangan otousan
selalu menghantuiku. Aku ingat sekali, tak pernah sekalipun dia mengganggu
waktuku disaat bersantai seperti ini, berbeda dengan kedua wanita itu, tapi
anehnya, walau mereka memperlakukanku dengan buruk, aku tidak pernah mempunyai
dendam sedikitpun, aku bahkan sangat merindukan mereka. Kalian, apa kalian
tidak mencariku? Sekarang aku seorang diri, karena itu, carilah aku.. “
meratapi keadaannya yang amat menyedihkan. Hidup tanpa satupun keluarga
disampingnya. Walau begitu, tak terlihat air mata disana, yang terlihat hanya
senyumannya yang terkulum indah di paras cantiknya. Parasnya yang sesungguhnya
cantik tak pernah disadari oleh banyak orang, hanya ayahnya dan pria itu. Pria
yang sedang mengamatinya dari kejauhan, berdiri sambil menggunakan sebuah
payung guna mengindari tetesan hujan yang mulai turun.
“
wanita itu, apa ada yang salah dengan sistem kepekaan tubuhnya? Hujan begini
dia masih saja terlihat santai? Apa dia tidak kedinginan? “ pikirnya sembari
berjalan mendekati Hanami yang masih saja tersenyum memandang bunga sakura yang
mulai berguguran akibat terjangan air hujan. “ pakai ini.. “ ia menyodorkan
sebuah sweater kepada Hanami. Seperti biasa, pria itu memang selalu berhasil
membuatnya kaget. Hanami menatap pria itu.
“
kenapa pria ini selalu mengagetkanku? “ batinnya yang masih menatap pria itu.
“
jangan menatapku seperti itu, pakai dulu sweater ini.. apa kau tidak merasa kedinginan?
“ Tatsuya memilih diam sambil terus menatapnya, menunggu reaksi darinya. Hanami
masih saja terdiam. “ penalaranmu sungguh lambat! Pegang ini. “ ia `memberikan
payung tersebut ketangan Hanami, lalu ia memakaikan sweater itu ke tubuh Hanami.
Setelah itu ia kembali mengambil payung yang ada ditangan Hanami dan memutar
kepalanya untuk mengamati pohon sakura yang ada disana, pohon yang telah
membuat wanita yang ada disampingnya tersenyum. “ tidak ada apa-apa disana, Lalu
kau tersenyum karena apa? “ ujarnya. Tak mendapatkan jawaban. Ketika
dilihatnya, ternyata Hanami sudah tidak berada disampingnya. Wanita itu malah
berjalan menelusuri jalanan disana. “ mau kemana wanita itu? Dia meninggalkanku
begitu saja? Wah.. benar-benar! “ kesal yang ia rasakan tidak membuatnya
berhenti mengikuti wanita itu. Dibawah rintikan hujan yang halus ia berjalan
mengikuti langkah Hanami. Seakan masih penasaran akan wanita itu. “ kemana dia
akan pergi? “ pikirnya seiring langkahnya yang bergerak perlahan. Dilihatnya
wanita yang ada dihadapannya, tersenyum memandang bunga sakura yang terlihat
sedang berguguran. Mengacuhkan tetesan hujan yang semakin menderas, dinginnya
udara pada saat itu seakan lenyap oleh kenangan indahnya, kenangan yang dapat
ia rasakan disaat memandang bunga sakura, seperti yang ia lakukan pada saat
itu. Tatsuya, pria itu masih saja mengikuti Hanami. Terbayangkan segala macam
pemikirannya tentang wanita itu. Alisnya yang mengkerut menunjukkan seberapa
keras ia memikirkan itu. Suara hentakkan kaki mengagetkannya. Langkahnya pun
terhenti, dirinya kaget bukan main setelah mendapatkan wanita yang sedari tadi
dibenaknya berdiri dihadapannya dengan tatapan kesal.
“
kau mengikutiku? “ ucap Hanami geram.
“
tidak. “
“
terus kau sedang apa? Kau terus berjalan dibelakangku, jelas sekali bahwa kau
sedang mengikutiku. “ tambahnya dan kembali menghentakkan kakinya.
“
jangan menghentakkan kakimu begitu, air cipratannya mengenaiku! “
“
aku tidak peduli! “ ia membalikkan tubuhnya dan hendak kembali berjalan.
Selangkah kemudian ia menghentikan langkahnya lalu menatap Tatsuya yang masih
mematung dibelakangnya. “ jangan mengikutiku! “ anggukan Tatsuya tidak sempat
ia lihat, dirinya sudah berlari, dibawah derasnya hujan, melangkahkan kakinya
sesuka hatinya. Disaat tubuhnya mulai merasa kedinginan, ia memilih menikmati
teh disalah satu tea house yang terkenal didaerah gion. Mengobrol dengan
beberapa pengunjung disana. Setelah itu ia kembali berjalan, mencari geisha
yang biasanya berdiri ditepi jalan, namun sayang, malam itu tak terlihat
satupun geisha disana. Dengan perasaan kecewa ia berjalan pulang. Machiya
terlihat ramai. Kumpulan pria dan wanita dengan koper mereka memenuhi halaman
machiya. Melihat itu membuatnya enggan untuk masuk kesana. Ia memilih duduk di
salah satu tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana. Mengamati manusia
yang sedang berkupul dihadapannya.
“
sepertinya mereka akan menginap di rumahnya Akira, huh.. syukurlah keadaan
sudah ramai, kalau tidak, machiya itu akan terlihat seperti tempat syuting film
horor saja. “ ucapnya pelan. Matanya terus menelusuri setiap pria dan wanita
yang ada disana, terlihat juga Akira yang sedang berbincang dengan salah satu
dari mereka. Pria itu juga terlihat, Tatsuya yang tadinya berhasil membuanya
kesal. “ Yumiko? “ seorang wanita dengan paras yang begitu serupa dengan
Yumiko. Adiknya yang selama ini ia rindukan. “ apa mungkin itu Yumi? “
langkahnya bergerak perlahan mendekati wanita yang sedang mengobrol dengan
Tatsuya. Semakin dekat dirinya semakin yakin dengan sosok itu. “ Yumi.. kaukah
itu? “ tepat disamping wanita itu, menatapnya dengan tatapan kerinduan, airmata
mulai menggenangi sudut matanya.
“
kau? “ jawab wanita itu. Wajah wanita itu terlihat kaku.
“
benarkah ini kau? Kau yumiko? Aku Hanami, apa kau tidak mengenalku? “ suaranya
mulai mengeras. Tatsuya yang tadinya asik mengobrol kini diam menatapnya.
Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekitar mereka.
“
kau siapa? “ kata wanita itu.
“
Yumi.. kau pasti Yumi, aku tidak mungkin salah. “
“
menyingkirlah, kau sangat mengganggu. “ menepis tangan Hanami yang sedari tadi
menggenggam tangannya. Meninggalkan Hanami dan semua orang disana.
“
aku yakin, itu pasti kau Yumi.. “ tak tertahankan lagi olehnya, tetesan airmata
akhirnya terlihat disana, dipipinya. Dengan langkah tergontai ia menaiki tangga
dan masuk kedalam kamarnya. Membuka kembali kotak yang telah ia bawa dari desa,
semua mainan itu merupakan milik Yumiko, mainan yang tak pernah bisa ia miliki.
Rasa kantuk yang ia hadapi tak juga
membuatnya berkeinginan untuk menutup mata. Ia masih saja terduduk diatas kasur sambil memikirkan
wanita itu.
“
apa mungkin aku yang salah? Tapi, wajah mereka sangat serupa.. “ ditengah
sepinya malam, dapat terdengar dengan jelas suara cacing perutnya yang meminta
untuk segera diberi makanan. “ huh.. ia sabar, aku juga lapar.. “ ucapnya
kepada cacingnya. Perlahan ia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuruni
tangga. Melangkahkan kakinya kedapur guna mencari makanan. “ bagaimana ini<
tidak ada makanan apapun disini. “ mengelus perutnya yang mulai terasa perih.
Terduduk disalah satu kursi makan. Meringis kesakitan, keringan dingin mulai
meluncur dikeningnya.
“
kau kenapa? “ Tatsuya baru saja keluar dari kamar mandi yang terdapat
dibelakang dapur.
“
aku lapar.. “ jawabnya dengan penuh kejujuran.
“
hahaha.. yappa (sudah kuduga). Kau
seharian bermain dibawah hujan, tadi kau tidak menyantap apapun? “
“
hanya segelas teh.. “ wajahnya terlihat menyedihkan. Pria itu merasa geli
melihat wanita itu kelapan ditengah malam seperti itu.
“
kawaisou.. (kasihan sekali) ayo
ikutlah denganku. “ menarik tangan Hanami. Ia tahu betul kemana dirinya harus
membawa wanita itu.
Di area Shirakawa Minami-dori, didepan
salah satu tea house, terdapat sebuah kedai kecil yang menjual sukiyaki(masakan
yang direbus dan terdiri dari daging sapi, tahu, bawang, sayur bok-choy, jamur
dan yang lainnya). Dari kejauhan aroma rebusannya sudah sangat menggoda,
Tatsuya yang masih menggenggam tangan Hanami terus melangkahkan kakinya menuju
kedai tersebut. Ia hanya bisa tersenyum ketika melihat ekspresi Hanami, wanita
itu tidak henti-hentinya menatap kedai tersebut, menghirup aroma yang sangat
menggugah seleranya. Dan sekarang, diatas meja yang berukuran sedang, sudah
tersedia seporsi sukiyaki berukuran besar dan beberapa botol sake(minuman khas
jepang yang mengandung alkohol). Ada juga nori(rumput laut yang sudah diproses
dan mirip seperti kertas) dan juga aburage(lembaran tahu goreng untuk bahan
campuran sup). Begitu banyak makanan dihadapan Hanami.
“
makanlah.. “ kata Tatsuya sembari menikmati sake yang telah ia pesan.
“
baiklah.. “ katanya tenang. Menyantap sukiyaki dengan semangat, dicelupkannnya
nori kedalam kuah sukiyaki, dengan cepat nori tersebut sudah berada didalam
mulutnya. Aburage pun sudah terlihat lagi, yang tersisa hanya kuah sukiyaki
yang tak mampu ia habiskan. “ huh, sepertinya aku sudah kenyang.. “ mengelus
perutnya yang sudah terasa penuh. Dilihatnya minuman yang ada dihadapannya,
tanpa berpikir langsung ia sambar. “ uhuk! Uhuk! Ini apa? Uh.. apa ini sake? “
sebelumnya Hanami tidak pernah merasakan sake, ayahnya melarang ia untuk
meminum minuman itu. Alasannya dikarenakan minuman itu mengandung alkohol.
Minuman yang sering disebut anggur beras tersebut memiliki aroma yang mirip
dengan tape beras, walaupun ia tidak pernah meminumnya, ia dapat dengan
mengetahuinya, karena dulunya sang ibu sangat rajin membuatkan sake untuk
ayahnya. Hanya setegus yang ia minum, tapi reaksinya bagaikan meminum berliter
sake. Kepalanya terasa pusing, bagaikan dilanda dehidrasi, ia malah
berkeinginan untuk kembali meminum sake tersebut, syukurnya Tatsuya berhasil
menahannya. Pria itu langsung membawa Hanami pergi dari sana. Memapah wanita
itu, wanita yang sedang mengatakan banyak kata, sepanjang perjalanan Hanami
tidak henti-hentinya berbicara yang sepertinya ditujukan kepasa ayahnya.
Prilakunya berubah drastis, ia lebih banyak tertawa dan berbicara, walau
begitu, Tatsuya tidak terasa terbebani olehnya. Melihat wanita itu tertawa
membuatnya menemukan sisi lain dari Hanami. Sesuatu yang selama ini masih
tertanam dalam jiwa wanita itu. Namun kini tak dapat ia pungkiri, jantungnya
berdetak seperti suara genderang pesta pernikahan, wanita itu memeluknya dengan
erat. Kali ini Hanami menatap Tatsuya sembari berkata. “ aku sayang otousan.. “
“
... “ pria itu seakan terhimpit dua bangunan nan besar, nafasnya tersengal
ketika mendengar pernyataan wanita itu. Walau pernyataan tersebut bukanlah
untuknya, tapi entah kenapa ketika ia mendengarnya, terlihat secercah cahaya
dari wajah Hanami, begitu banyak wanita yang menyatakan perasaan kepadanya,
namun kali ini jauh berbeda, hatinya seakan mengiyakan pernyataan itu. Kini
Hanami kembali memeluknya. Sambil terus memanggil ayahnya. “ apa aku serupa
dengan otousan-nya? Apa aku setua
itu? “ kesalnya. Dapat ia rasakan gerakan tubuh Hanami yang sepertinya akan
terjatuh, tidak ingin hal itu terjatuh, kini dialah yang memeluk gadis itu. “
huh, hanya seteguk kenapa kau sampai seperti ini? Merepotkan sekali. “
mengangkat tubuh Hanami ke punggungnya. Beratnya tubuh wanita itu tidak
membuatnya patah semangat. Langkahnya yang terasa berat semakin lihai bergerak,
terus melangkah menuju machiya. “ aneh sekali, kenapa aku begitu semangat? “
batinnya. Mengacuhkan pikiran tersebut dan terus melangkahkan kakinya.
Continued...
0 komentar:
Post a Comment