Saturday, August 17, 2013

Short Story (We're Different) Part 1



We’re Different
     Munculnya kuncup-kuncup bunga pohon plum (ume). Dan setelah bunga pohon plum berakhir, munculah kuncup-kuncup bunga paling terkenal di Jepang, bunga Sakura. Musim yang sangat dinanti. Berakhirnya musim dingin dan tak bersahabat membuat musim ini ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Walau mekarnya bunga sakura tidak berlangsung lama, hanya satu hingga dua minggu, itu tidak membuat warga jepang bersedih, bahkan mereka akan sangat memanfaatkan waktu itu, seperti yang dilakukan Hanami. 
     

     Gadis itu  memanfaatkan keindahan pohon sakura tersebut dengan cara tidur dibawahnya. Bunganya yang bermekaran akan terlihat rimbun dan akan semakin menyejukkan suasana. Bajunya yang kebesaran telah menutupi hampir seluruh tubuhnya, rambutnya yang hanya sebahu tak kuasa menahan terpaan angin sehingga membuat rambutnya terlihat berantakan. Namun sayang, waktu bersantainya dirusak oleh sebuah benda, sebuah benda yang melayang dan mengenai tepat dikepalanya.
“ hey! Apa kau tidak mendengarku? Aku sudah memanggilmu berkali-kali, apa kau sengaja mengacuhkanku? Aku akan melaporkan ini ke okasan! (ibu)  “ teriak seorang wanita yang berada tidak jauh darinya. Wanita cantik itu terlihat sedang mencari kaleng minuman yang lainnya, dan sekarang hendak melemparnya kembali. Namun sayang, botol itu tidak mengenai sasaran, karena Hanami berhasil menangkap botol tersebut.
“ kenapa kau menggangguku! Apa kau tidak lihat aku sedang tidur? Kusso! (sialan!) “ bentaknya yang kembali melempar kaleng itu. Tak terduga olehnya, kaleng itu mengenai lengan wanita itu, adiknya, tepatnya yaitu saudara kembarnya. Hal tersebut membuat adiknya menangis, sang ibu yang mendengar tangisan itu pun langsung berlari menghampiri anaknya, anak kesayangannya.
“ kau kenapa? “ tanya ibunya dengan panik.
“ dia melukaiku, kaleng ini, dia melempar kaleng ini ke arahku.. “ ujarnya sambil menangis. Hanami yang mendengar perkataan adiknya hanya bisa tersenyum.
“ apa yang telah kau lakukan! Kenapa kau selalu melukainya! Sini kau, aku akan menghukummu! “ Menahan sakitnya pukulan bambu yang mengenai tepat pada betisnya. Pukulan itu berulang kali ia rasakan, tak ada lagi rasa perih disana, pukulan ini sudah menjadi santapannya. Sang ibu yang lebih menyayangi Yumiko, yaitu adiknya, tidak pernah bersikap baik terhadapnya. Mungkin dikarenakan perbedaan yang terdapat pada diri mereka, walau mereka dilahirkan dengan waktu yang hampir bersamaan, Yumiko terlahir dengan wajah yang cantik, sedangkan Hanami, kecantikannya memudar dikarenakan banyaknya pukulan yang ia dapatkan membuat tubuhnya dipenuhi dengan berbagai macam bekas luka. Sang ibu yang sering memukulinya tidak pernah menyesali perbuatannya itu, Hanami sendiri tidak pernah mengetahui penyebab sang ibu membencinya, walau begitu  ia masih beruntung memiliki seorang ayah yang jauh menyayanginya. Kini ia terduduk di kursi kayu yang terlihat rapuh, mengelus kedua betisnya yang mulai terlihat memar.
“ Nami.. kemarilah.. “ panggil ayahnya dari kejauhan. Mendengar suara ayahnya ia kembali bersemangat dan langsung menghampiri pria tua itu.
“ apa yang harus aku bantu? “ katanya dengan lirih.
“ ada apa dengan suaramu? Kau sakit? bantu aku bawa sayur  ini. “ profesi ayahnya yang sebagai petani membuatnya banyak menghabiskan waktunya dikebun. Dan sebagai anak yang baik, sepulangnya bersekolah ia selalu menyempatkan diri untuk membantu ayahnya. Seperti yang ia lakukan saat ini, membawa sayuran yang baru saja dipetik, sayuran itu akan dijual ke juragan sayuran, dan hasilnya akan diberikan kepada ibunya. “ tunggu dulu, ada darah dikeningmu. “ kata ayahnya ketika menyadari adanya darah yang mengalir dikening anaknya. “ apa dia menghukummu lagi? Apa yang kau perbuat sehingga dia menghukummu? “
“ semua itu diluar keinginanku, aku memang bersalah. Aku pergi dulu, juragan pasti menunggu. “ berlari mendahului ayahnya. Melewati perkebunan milik penduduk didesa tersebut. Desa yang diakui sebagai desa terindah di negeri sakura. Desa itu terkenal karena adanya sebuah desa kecil yang menjadi tempat berdirinya rumah-rumah tradisional Jepang yaitu gassho-zukuri. Sebagian besar wilayahnya tertutupi hutan, walau begitu masih ada sungai Shokawa yang menjadi tempat bermainnya Hanami bersama penduduk desa yang lainnya. Desa tersebut yaitu desa Shirakawa.
     Perbedaan tidak harus disesali. Itulah yang ada dipikiran Hanami. Status mereka yang sebagai anak kembar selalu menjadi bahan omongan orang, banyak yang tidak mempercayai status mereka, itu dikarenakan keadaan fisik mereka yang jauh berbeda, Yumiko sangat rajin merawat tubuhnya, sedangkan Hanami tidak pernah sekalipun berpikiran untuk melakukan itu, pekerjaan berat yang ia hadapi membuatnya tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal seperti itu. Tidak hanya fisik, sikap mereka juga berbeda, Hanami yang terkenal dengan keramahannya memiliki banyak teman terutama di kalangan petani, mungkin dikarenakan kebaikannya yang sering membantu mereka, sedangkan Yumiko, ia terkenal dengan kesombongannya, hanya beberapa pria yang mau berteman dengannya dan juga diperbudak olehnya, pria-pria tersebut akan melakukan apapun yang ia perintah demi mendapatkan cintanya.
“ wah, sayuranmu segar sekali, oh Nami, keningmu berdarah, apa okasan memukulmu lagi? Kenapa dia begitu kejam terhadapmu? “ kata si juragan.
“ ah, tidak.. ini hanya luka biasa.. “ ujarnya mencoba menutupi.
“ kau tidak bisa membohongiku, yasudah, ini kuberikan untukmu lebih, simpanlah uang ini, kau pasti akan membutuhkannya. “ melihat semangatnya membuat siapapun menyayanginya. Seperti juragan tersebut yang selalu memberinya bayaran lebih dari yang semestinya.
arigato gozaimasu! (terima kasih!)“ pulang kerumah dengan senyumnya yang merekah. Sepanjang perjalanannya kerumah, ia selalu menegur atau bahkan membantu mengangkat barang bawaan para petani, berbincang sejenak lalu kembali kerumahnya.
     Terlihat dua buah koper didepan pintu rumahnya, ia merasa ada sesuatu yang telah terlewatkan, tanpa menunggu ia langsung masuk kedalam rumah. Berantakan. Disudut ruangan terlihat orangtuanya sedang berbincang, raut wajah ayahnya terlihat menyedihkan. Sedangkan ibunya, wanita tua itu terus-terusan membentak suaminya dan mengatakan sesuatu yang membuat Hanami tercengat.
“ aku sudah tidak tahan hidup denganmu! “ kalimat itulah yang Hanami dengar. Setelah ibunya mengatakan semua yang ada dibenaknya, ia langsung menarik Yumiko yang sedang duduk manis sambil menyaksikan apa yang terjadi dihadapannya. Hanami yang tidak ingin berpisah dengan adiknya pun menarik tangan Yumiko dengan kuat.
“ kau! Jangan pergi, kumohon jangan! “ katanya dengan keras. Sejujurnya, ia lebih memilih dihukum setiap harinya dari pada harus berpisah dengan adiknya dan juga ibunya.
“ lepaskan aku! “ Yumiko berusaha untuk melepaskan genggaman Hanami.
okasan komuhon, jangan pergi, apapun yang kau perintahkan, aku akan melakuakan semua itu asalkan kalian tidak pergi, kumohon.. “ ucapnya dengan suara yang tersendat.
“ enyahlah! “ Yumiko menatap Hanami dengan tatapan yang begitu menakutkan, tatapan yang tidak pantas ditujukan kepada orang sebaik Hanami, tatapan yang penuh kebencian itu membuat Hanami terdiam. “ apa kau lupa, kita berbeda! “ mematung dan tak kuasa menahan air mata yang mengalir perlahan. Kini ia hanya bisa mengamati kedua orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya dan juga ayahnya, tanpa mengetahui kemana tujuan dua wanita itu. Ternyata waktu sesingkat itu. Pikirnya.
     Malam ini mereka lewatkan begitu saja, tanpa menyentuh makanan apapun. Ayahnya yang sedari tadi tidak juga keluar dari kamarnya membuat Hanami semakin cemas akan kesehatannya. Berulang kali ia mencoba membujuk ayahnya untuk segera mengisi perutnya, tapi ucapannya tidak mendapatkan jawaban. Hening. Tak terasa pagi tiba lebih awal, sepinya kehidupan yang mereka alami membuat hari-hari mereka semakin singkat. Ditambah penyakit paru-paru sang ayah yang bertambah parah, dan biaya menjadi kendalanya, untuk menutupi kekurangan, ia menggantikan pekerjaan ayahnya dan meninggalkan sekolahnya. Lantas seperti itulah kehidupan mereka setelah kepergian dua orang yang sangat mereka sayangi.
     Satu tahun setelah kepergian adik dan ibunya. Musim semi kembali menghampiri harinya. Seperti biasa, disaat bunga sakura bermekaran, yang ia lakukan yaitu tidur dibawah pohon, menikmati udara yang sejuk, mengamati keindahan bunga sakura, atau sekadar menghilangkan penat dengan mengumpulkan bunga sakura yang mulai berguguran dikarenakan terjangan air hujan dan hempasan angin. Musim semi adalah hari yang ceria. Seperti pribahasa jepang ‘Fuyu kitarinaba, haru tookaraji’. Banyak orang memulai lembar baru mereka di musim semi, menjadi murid di sekolah baru, mahasiswa di universitas baru, pegawai di kantor yang baru, pindah ke rumah baru, dan menikah. Dan Hanami, di musim semi ini, ia juga melewatinya dengan hal yang baru. Hanya seorang diri. Sang ayah telah meninggalkannya tiga bulan yang lalu dikarenakan penyakit paru-parunya yang semakin mengganas. Tapi hebatnya, tak pernah sekalipun ia meneteskan air mata, kepergian ayahnya bukanlah sesuatu yang harus ia tangisi, seperti yang terakhir kali ayahnya katakan.
“ apa yang selama ini kau alami tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana cara kau menghadapinya. “ kalimat itu selalu melayang dipikirannya. Tidak hanya itu, masih ada satu hal lagi yang terus-terusan ia pikirkan, sebelum ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya, ia memberikan selembar kertas yang berisikan sebuah alamat.
“ kenapa dia memberikanku alamat ini? apa aku harus mencari tahu? Kyoto? Jauh sekali.. “ ucapnya di dalam sepi.
akiramenna... (jangan putus asa) ayahmu pasti meninggalkan sesuatu untukmu, aku sangat mengenal kepribadiannya, dia orang yang bertanggung jawab, pergilah, cari alamat itu. Ganbatte! (semangat) “ ujar salah satu tetangganya yang merupakan teman dekat ayahnya. Mendengar perkataan tetangganya itu, keinginannya untuk mencari tahu pun meningkat.
“ ya, mereka benar. Aku harus menghadapinya! Ganbatte!

     ‘The Capital of City’ atau Kyoto Perfecture. Salah satu kota di Jepang yang mempunyai reputasi sebagai kota terindah dengan berbagai macam bangunan tradisional kuno dan kuil tertua dijepang. Kota yang dikenal dengan sebutan kota seribu kuil ini menawarkan beragam akomodasi kepada para wisatawan yang datang kesana, termasuk rumah-rumah tradisional yang masih diabadikan bahkan disewakan untuk setiap wisatawan yang ingin merasakan gaya hidup di kota Kyoto. Saat ini Hanami berada di kawasan Gion. Gion merupakan distrik geisha di kota Kyoto. Terletak disekitar Shijo Avenue antara Yasaka Shrine di timur dan sungai kamo di barat. Disekitaran Gion terdapat banyak toko-toko, restoran dan Ochaya (teahouse) dengan bergaya jepang tradisional. Dan kini, Tepat dihadapan Hanami, terdapat sebuah Town House yang biasa disebut Machiya. Berbeda dengan wisatawan lainnya, kedatangannya kesana bukanlah untuk berlibur, sesuai alamat yang ada ditangannya, jelas sekali bahwa Machiya tersebutlah jawabannya.
“ kenapa otousan (ayah) menyuruhku kesini? “ pikirnya. Wanita itu masih meragukan  kebenaran yang telah ia dapatkan. Memperhatikan keadaan rumah yang ada dihadapannya, rumah tradisional itu terlihat terawat, segala sesuatunya tersusun rapi.
konnichi wa.. (selamat siang) “ sapa seorang wanita tua. Wanita yang baru saja keluar dari rumah tersebut terlihat anggun dengan kostum ala geisha. Menyapanya ramah, belum juga menerima jawaban dari Hanami, wanita itu langsung melontarkan kalimat yang berhasil membuat Hanami tenang. “ kau, mungkinkah kau putrinya Yoshi? “ Yoshi merupakan nama dari ayahnya. Dikarenakan masih shock, Hanami hanya mengangguk. “ ah, namamu Hanami, bukan? Masuklah.. “ tak perlu berlama-lama, wanita berkostum geisha itu langsung menariknya masuk kedalam rumah. Memberikannya segelas Gyokuro (jenis teh hijau yang termahal). “ minumlah, teh ini aku persiapkan untukmu. Jangan sungkan-sungkan, lakukan apapun yang kau mau, jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa mengatakannya padaku. “ jelasnya dan hendak pergi. Hanami yang belum mengerti dengan apa yang ia katakan pun tersentak.
“ tunggu! Sebelumnya aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, ah.. tidak, banyak yang ingin kutanyakan padamu. “ katanya dengan sambil menggenggam erat lengan wanita itu.
“ Akira, itu namaku. Kau tidak perlu khawatir, aku bersahabat dengan Yoshi sejak kami duduk disekolah dasar, dan kau, aku sudah mengetahui semua tentang dirimu darinya. Sekarang aku sedang sibuk, kau naiklah keatas, kamar paling sudut, itu kamarmu, pintunya tidak terkunci, istirahatlah, setelah pekerjaanku selesai, aku akan menghampirimu. “ setelah mengatakan itu, ia pun menghilang tertutupi wisatawan yang melintas disana.
     Rumah ini masih sangat kental akan budaya kunonya seperti terlihat dari kelengkapan rumah yang kuno dan antik, termasuk furnitur, dapur, lesehan sampai kamar mandi terbuka dilengkapi dengan bak-mandi semacam onsen yang unik. Namun rumah ini terlihat sepi, tak terlihat seorang pun disana, hanya dirinya.
“ bukankah kamar-kamar ini disewakan? Kenapa tidak ada satupun manusia disini? “ ujarnya sambil berjalan menuju kamar yang Akira maksud. “ wanita tadi, kenapa aku begitu tenang disaat berada disampingnya? Apa benar dia sahabat otousan? “ panjangnya lorong membuatnya kelelahan. Ransel yang bergantungan dipundaknya dan kotak yang ada di pelukannya sangat berat untuk dirinya bawa seorang diri. “ seharusnya kotak ini kusimpan saja, tapi aku tidak bisa berpisah dengan barang ini, apa aku masih bisa bertemu mereka? Yumiko.. apa kau sehat? Okasan, bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja? Apa kalian merindukanku? Aku sangat merindukan kalian.. “ pikirnya dalam diam. Sambil terus melangkahkan kakinya menuju kamar yang terletak disudut lorong.
yatta! (berhasil), wuhu.... “ terdengar suara seseorang dari pintu yang ada disamping Hanami. Suara itu berhasil membuat Hanami tersentak dan dengan reflek menjatuhkan kotaknya. Hal hasil semua yang ada didalam kotak tersebut berhamburan dilantai. Ia langsung cepat-cepat mengumpulkan semuanya. “ kau kenapa? Apa mau aku bantu? “ seseorang keluar dari pintu dan menegurnya. Tanpa ekspresi ia menawarkan bantuannya.
“ ah, tidak perlu.. “ jawab Hanami tanpa melihat asal suara tersebut.
“ kau baru saja masuk? “ tanyanya lagi.
hai! (ya) “ masih sibuk mengumpulkan semua barangnya.
“ kau cuma sendiri? “
hai!
“ apa kau sudah terbiasa berbicara tanpa memperhatikan lawan bicaramu? “
hai! “ terdiam. Ia bahkan tidak mengetahui secara jelas apa yang sedari tadi pria itu tanyakan. Tapi kali ini, pertanyaannya melekat dengan keras ditelinganya. Kontras membuat langsung mencari asal pertanyaan itu. “ kakkoi.. (tampan) “ pikirnya. “ jadi, sedari tadi pria ini yang bertanya kepadaku? “ tambahnya.
“ hah, kau lucu sekali. Apa sedari tadi kau mendengarkan perkataanku? “
“ ... “ sedikit malu-malu, wanita itu hanya menggelengkan kepalanya.
“ hahaha. Baiklah, aku maafkan. Sini biar aku bantu. “ ia tersenyum kepadanya. Membantunya mengutip semua barang bawaannya. “ kau masih memainkan ini? “ tanyanya disaat mengambil mainan yang berserakan itu.
“ ah, lie (tidak). Semua ini hanya sekadar kenangan bagiku. “ jelasnya.
“ kau kehilangan seseorang? Otousan? Okasan? Atau mungkin adikmu? “
“ semuanya. “ jawabnya singkat.
“ hah? “ pria itu tercengat mendengar jawabannya. “ kau bercanda? “
“ apa aku terlihat bercanda? Arigato, kau telah membantuku. Aku masuk kekamar dulu. Sumimasen.. (permisi) “

     Diatas meja yang berukuran sedang, terdapat irisan ikan laut mentah nan segar, ada juga saus, kecap asin, dan juga wasabi. Wasabi merupakan sambal hijau pedas yang biasanya disajikan bersama sashimi. Hanami yang tidak pernah menyantap makanan seperti itu pun tak kuasa menahan cacingnya yang terus-terusan memintanya untuk segera melahap sashimi tersebut.
“ makanlah.. kau pasti belum pernah mencobanya. Mulai saat ini, aku akan masakan makanan yang enak untukmu.. “ Akira terlihat manis dengan gaun yang ia kenakan. Sekilas ia terlihat seperti seorang ibu yang sedang memperhatikan anaknya. Hanami dapat merasakan itu, kehangatan yang terpancar dari matanya. “ jangan hanya menatapku, makanlah makanan yang ada dihadapanmu.. “
“ ah, baiklah. “ memegang sumpit dan sendok, menatap sashimi yang ada dihadapannya.
itadakimasu! (selamat makan) “ suara itu kembali mengagetkan Hanami. Tidak hanya suaranya, keberadaan seorang pria disampingnya yang tanpa diketahui olehnya membuatnya menjatuhkan sumpit dan juga sendoknya.
“ Tatsuya! Kau mengagetkannya! “ tegur Akira. Pria yang ternyata bernama Tatsuya itu langsung mengutip sumpit dan sendok tersebut, lalu melangkah kedapur dan kembali dengan membawa sumpit dan sendok yang baru.
“ ini, suman.. (maaf) “ tersenyum kepada Hanami dan juga Akira. Setelah itu sesuap sashimi sudah berada dimulutnya. Mengunyah sashimi dengan semangat. “ kenapa melihatku? Makanlah.. “ katanya sembari mengunyah sashiminya.
“ jangan berbicara disaat mengunyah! “ Akira kembali menegurnya.
“ dia melihatku terus, bagaimana aku bisa makan.. “ ujarnya yang masih asik mengunyah.
“ itu dikarenakan suaramu yang terlalu berisik.. “
“ iya.. iya.. aku akan diam. “ suasana menjadi tenang. Tanpa suara Tatsuya yang menurut Akira terlalu berisik. Tapi tidak dengan Hanami, sebenarnya yang membuatnya menatap pria itu dikarenakan sikapnya yang ceria. Pria itu berhasil membuat keadaan menjadi ramai, seperi dirinya yang dulu, Hanami selalu menjalani hidupnya dengan ceria, namun untuk saat ini, ia masih belum percaya diri untuk menunjukkan itu, lingkungan barunya masih terlalu asing baginya, ia membutuhkan sedikit waktu untuk semua itu.

     Gion adalah kawasan yang penuh pesona. Sungai yang mengalir disepanjang Gion Shirakawa terlihat menakjubkan akan keindahannya, ditambah barisan pohon bunga sakura berwarna pink yang menjuntai tinggi. Tak heran jika melihat wisatawan yang mengambil banyak foto disana. Tempat tinggal Hanami yang terletak tidak jauh dari sana membuatnya dapat dengan mudah bermain kesana dan menikmati keindahan bunga sakura tersebut.
“ disaat seperti ini, bayangan otousan selalu menghantuiku. Aku ingat sekali, tak pernah sekalipun dia mengganggu waktuku disaat bersantai seperti ini, berbeda dengan kedua wanita itu, tapi anehnya, walau mereka memperlakukanku dengan buruk, aku tidak pernah mempunyai dendam sedikitpun, aku bahkan sangat merindukan mereka. Kalian, apa kalian tidak mencariku? Sekarang aku seorang diri, karena itu, carilah aku.. “ meratapi keadaannya yang amat menyedihkan. Hidup tanpa satupun keluarga disampingnya. Walau begitu, tak terlihat air mata disana, yang terlihat hanya senyumannya yang terkulum indah di paras cantiknya. Parasnya yang sesungguhnya cantik tak pernah disadari oleh banyak orang, hanya ayahnya dan pria itu. Pria yang sedang mengamatinya dari kejauhan, berdiri sambil menggunakan sebuah payung guna mengindari tetesan hujan yang mulai turun.
“ wanita itu, apa ada yang salah dengan sistem kepekaan tubuhnya? Hujan begini dia masih saja terlihat santai? Apa dia tidak kedinginan? “ pikirnya sembari berjalan mendekati Hanami yang masih saja tersenyum memandang bunga sakura yang mulai berguguran akibat terjangan air hujan. “ pakai ini.. “ ia menyodorkan sebuah sweater kepada Hanami. Seperti biasa, pria itu memang selalu berhasil membuatnya kaget. Hanami menatap pria itu.
“ kenapa pria ini selalu mengagetkanku? “ batinnya yang masih menatap pria itu.
“ jangan menatapku seperti itu, pakai dulu sweater ini.. apa kau tidak merasa kedinginan? “ Tatsuya memilih diam sambil terus menatapnya, menunggu reaksi darinya. Hanami masih saja terdiam. “ penalaranmu sungguh lambat! Pegang ini. “ ia `memberikan payung tersebut ketangan Hanami, lalu ia memakaikan sweater itu ke tubuh Hanami. Setelah itu ia kembali mengambil payung yang ada ditangan Hanami dan memutar kepalanya untuk mengamati pohon sakura yang ada disana, pohon yang telah membuat wanita yang ada disampingnya tersenyum. “ tidak ada apa-apa disana, Lalu kau tersenyum karena apa? “ ujarnya. Tak mendapatkan jawaban. Ketika dilihatnya, ternyata Hanami sudah tidak berada disampingnya. Wanita itu malah berjalan menelusuri jalanan disana. “ mau kemana wanita itu? Dia meninggalkanku begitu saja? Wah.. benar-benar! “ kesal yang ia rasakan tidak membuatnya berhenti mengikuti wanita itu. Dibawah rintikan hujan yang halus ia berjalan mengikuti langkah Hanami. Seakan masih penasaran akan wanita itu. “ kemana dia akan pergi? “ pikirnya seiring langkahnya yang bergerak perlahan. Dilihatnya wanita yang ada dihadapannya, tersenyum memandang bunga sakura yang terlihat sedang berguguran. Mengacuhkan tetesan hujan yang semakin menderas, dinginnya udara pada saat itu seakan lenyap oleh kenangan indahnya, kenangan yang dapat ia rasakan disaat memandang bunga sakura, seperti yang ia lakukan pada saat itu. Tatsuya, pria itu masih saja mengikuti Hanami. Terbayangkan segala macam pemikirannya tentang wanita itu. Alisnya yang mengkerut menunjukkan seberapa keras ia memikirkan itu. Suara hentakkan kaki mengagetkannya. Langkahnya pun terhenti, dirinya kaget bukan main setelah mendapatkan wanita yang sedari tadi dibenaknya berdiri dihadapannya dengan tatapan kesal.
“ kau mengikutiku? “ ucap Hanami geram.
“ tidak. “
“ terus kau sedang apa? Kau terus berjalan dibelakangku, jelas sekali bahwa kau sedang mengikutiku. “ tambahnya dan kembali menghentakkan kakinya.
“ jangan menghentakkan kakimu begitu, air cipratannya mengenaiku! “
“ aku tidak peduli! “ ia membalikkan tubuhnya dan hendak kembali berjalan. Selangkah kemudian ia menghentikan langkahnya lalu menatap Tatsuya yang masih mematung dibelakangnya. “ jangan mengikutiku! “ anggukan Tatsuya tidak sempat ia lihat, dirinya sudah berlari, dibawah derasnya hujan, melangkahkan kakinya sesuka hatinya. Disaat tubuhnya mulai merasa kedinginan, ia memilih menikmati teh disalah satu tea house yang terkenal didaerah gion. Mengobrol dengan beberapa pengunjung disana. Setelah itu ia kembali berjalan, mencari geisha yang biasanya berdiri ditepi jalan, namun sayang, malam itu tak terlihat satupun geisha disana. Dengan perasaan kecewa ia berjalan pulang. Machiya terlihat ramai. Kumpulan pria dan wanita dengan koper mereka memenuhi halaman machiya. Melihat itu membuatnya enggan untuk masuk kesana. Ia memilih duduk di salah satu tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana. Mengamati manusia yang sedang berkupul dihadapannya.
“ sepertinya mereka akan menginap di rumahnya Akira, huh.. syukurlah keadaan sudah ramai, kalau tidak, machiya itu akan terlihat seperti tempat syuting film horor saja. “ ucapnya pelan. Matanya terus menelusuri setiap pria dan wanita yang ada disana, terlihat juga Akira yang sedang berbincang dengan salah satu dari mereka. Pria itu juga terlihat, Tatsuya yang tadinya berhasil membuanya kesal. “ Yumiko? “ seorang wanita dengan paras yang begitu serupa dengan Yumiko. Adiknya yang selama ini ia rindukan. “ apa mungkin itu Yumi? “ langkahnya bergerak perlahan mendekati wanita yang sedang mengobrol dengan Tatsuya. Semakin dekat dirinya semakin yakin dengan sosok itu. “ Yumi.. kaukah itu? “ tepat disamping wanita itu, menatapnya dengan tatapan kerinduan, airmata mulai menggenangi sudut matanya.
“ kau? “ jawab wanita itu. Wajah wanita itu terlihat kaku.
“ benarkah ini kau? Kau yumiko? Aku Hanami, apa kau tidak mengenalku? “ suaranya mulai mengeras. Tatsuya yang tadinya asik mengobrol kini diam menatapnya. Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekitar mereka.
“ kau siapa? “ kata wanita itu.
“ Yumi.. kau pasti Yumi, aku tidak mungkin salah. “
“ menyingkirlah, kau sangat mengganggu. “ menepis tangan Hanami yang sedari tadi menggenggam tangannya. Meninggalkan Hanami dan semua orang disana.
“ aku yakin, itu pasti kau Yumi.. “ tak tertahankan lagi olehnya, tetesan airmata akhirnya terlihat disana, dipipinya. Dengan langkah tergontai ia menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya. Membuka kembali kotak yang telah ia bawa dari desa, semua mainan itu merupakan milik Yumiko, mainan yang tak pernah bisa ia miliki.
     Rasa kantuk yang ia hadapi tak juga membuatnya berkeinginan untuk menutup mata. Ia masih saja  terduduk diatas kasur sambil memikirkan wanita itu.
“ apa mungkin aku yang salah? Tapi, wajah mereka sangat serupa.. “ ditengah sepinya malam, dapat terdengar dengan jelas suara cacing perutnya yang meminta untuk segera diberi makanan. “ huh.. ia sabar, aku juga lapar.. “ ucapnya kepada cacingnya. Perlahan ia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuruni tangga. Melangkahkan kakinya kedapur guna mencari makanan. “ bagaimana ini< tidak ada makanan apapun disini. “ mengelus perutnya yang mulai terasa perih. Terduduk disalah satu kursi makan. Meringis kesakitan, keringan dingin mulai meluncur dikeningnya.
“ kau kenapa? “ Tatsuya baru saja keluar dari kamar mandi yang terdapat dibelakang dapur.
“ aku lapar.. “ jawabnya dengan penuh kejujuran.
“ hahaha.. yappa (sudah kuduga). Kau seharian bermain dibawah hujan, tadi kau tidak menyantap apapun? “
“ hanya segelas teh.. “ wajahnya terlihat menyedihkan. Pria itu merasa geli melihat wanita itu kelapan ditengah malam seperti itu.
kawaisou.. (kasihan sekali) ayo ikutlah denganku. “ menarik tangan Hanami. Ia tahu betul kemana dirinya harus membawa wanita itu.
     Di area Shirakawa Minami-dori, didepan salah satu tea house, terdapat sebuah kedai kecil yang menjual sukiyaki(masakan yang direbus dan terdiri dari daging sapi, tahu, bawang, sayur bok-choy, jamur dan yang lainnya). Dari kejauhan aroma rebusannya sudah sangat menggoda, Tatsuya yang masih menggenggam tangan Hanami terus melangkahkan kakinya menuju kedai tersebut. Ia hanya bisa tersenyum ketika melihat ekspresi Hanami, wanita itu tidak henti-hentinya menatap kedai tersebut, menghirup aroma yang sangat menggugah seleranya. Dan sekarang, diatas meja yang berukuran sedang, sudah tersedia seporsi sukiyaki berukuran besar dan beberapa botol sake(minuman khas jepang yang mengandung alkohol). Ada juga nori(rumput laut yang sudah diproses dan mirip seperti kertas) dan juga aburage(lembaran tahu goreng untuk bahan campuran sup). Begitu banyak makanan dihadapan Hanami.
“ makanlah.. “ kata Tatsuya sembari menikmati sake yang telah ia pesan.
“ baiklah.. “ katanya tenang. Menyantap sukiyaki dengan semangat, dicelupkannnya nori kedalam kuah sukiyaki, dengan cepat nori tersebut sudah berada didalam mulutnya. Aburage pun sudah terlihat lagi, yang tersisa hanya kuah sukiyaki yang tak mampu ia habiskan. “ huh, sepertinya aku sudah kenyang.. “ mengelus perutnya yang sudah terasa penuh. Dilihatnya minuman yang ada dihadapannya, tanpa berpikir langsung ia sambar. “ uhuk! Uhuk! Ini apa? Uh.. apa ini sake? “ sebelumnya Hanami tidak pernah merasakan sake, ayahnya melarang ia untuk meminum minuman itu. Alasannya dikarenakan minuman itu mengandung alkohol. Minuman yang sering disebut anggur beras tersebut memiliki aroma yang mirip dengan tape beras, walaupun ia tidak pernah meminumnya, ia dapat dengan mengetahuinya, karena dulunya sang ibu sangat rajin membuatkan sake untuk ayahnya. Hanya setegus yang ia minum, tapi reaksinya bagaikan meminum berliter sake. Kepalanya terasa pusing, bagaikan dilanda dehidrasi, ia malah berkeinginan untuk kembali meminum sake tersebut, syukurnya Tatsuya berhasil menahannya. Pria itu langsung membawa Hanami pergi dari sana. Memapah wanita itu, wanita yang sedang mengatakan banyak kata, sepanjang perjalanan Hanami tidak henti-hentinya berbicara yang sepertinya ditujukan kepasa ayahnya. Prilakunya berubah drastis, ia lebih banyak tertawa dan berbicara, walau begitu, Tatsuya tidak terasa terbebani olehnya. Melihat wanita itu tertawa membuatnya menemukan sisi lain dari Hanami. Sesuatu yang selama ini masih tertanam dalam jiwa wanita itu. Namun kini tak dapat ia pungkiri, jantungnya berdetak seperti suara genderang pesta pernikahan, wanita itu memeluknya dengan erat. Kali ini Hanami menatap Tatsuya sembari berkata. “ aku sayang otousan..
“ ... “ pria itu seakan terhimpit dua bangunan nan besar, nafasnya tersengal ketika mendengar pernyataan wanita itu. Walau pernyataan tersebut bukanlah untuknya, tapi entah kenapa ketika ia mendengarnya, terlihat secercah cahaya dari wajah Hanami, begitu banyak wanita yang menyatakan perasaan kepadanya, namun kali ini jauh berbeda, hatinya seakan mengiyakan pernyataan itu. Kini Hanami kembali memeluknya. Sambil terus memanggil ayahnya. “ apa aku serupa dengan otousan-nya? Apa aku setua itu? “ kesalnya. Dapat ia rasakan gerakan tubuh Hanami yang sepertinya akan terjatuh, tidak ingin hal itu terjatuh, kini dialah yang memeluk gadis itu. “ huh, hanya seteguk kenapa kau sampai seperti ini? Merepotkan sekali. “ mengangkat tubuh Hanami ke punggungnya. Beratnya tubuh wanita itu tidak membuatnya patah semangat. Langkahnya yang terasa berat semakin lihai bergerak, terus melangkah menuju machiya. “ aneh sekali, kenapa aku begitu semangat? “ batinnya. Mengacuhkan pikiran tersebut dan terus melangkahkan kakinya.

Continued...

0 komentar: