Short
time
Hitam adalah warna yang melambangkan
kemakmuran, Percaya diri, Maskulin, dan Dramatis. Penyuka warna hitam biasanya
memiliki banyak rahasia dan lebih cenderung pendiam. Jika mereka berada
ditempat yang tidak mereka sukai, Biasanya mereka akan menjadi murung. Dalam
pergaulan mereka tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain, Hanya melakukan
sesuatu yang dianggap mereka nyaman, Tetapi walau begitu biasanya mereka mudah
diajak berteman dan mampu memberikan solusi ampuh kepada temannya. Seperti
itulah karakter Kara.
Wanita penggila warna hitam itu sungguh berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya. Seakan menikmati kesendiriannya yang terlihat begitu membosankan namun sangat mengasikkan baginya, Selagi tidak ada yang mengganggu kesendiriannya, Ia akan tetap merasa nyaman.
Wanita penggila warna hitam itu sungguh berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya. Seakan menikmati kesendiriannya yang terlihat begitu membosankan namun sangat mengasikkan baginya, Selagi tidak ada yang mengganggu kesendiriannya, Ia akan tetap merasa nyaman.
“
Kara! “ Seseorang meneriaki namanya. Merasa terganggu, ia pun menjauh dari
sana. Mencari jaket tebal berwarna hitam tidaklah mudah, Terutama untuk wanita,
Sesuai tren pada tahun itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita
berubah menjadi serba cerah, warna-warni, tanpa warna hitam. Kara sudah
menyinggahi banyak butik dan sampai sekarang ia belum juga mendapatkan jaket
hitamnya. Jadwalnya ke Paris tidak lama lagi dan sampai sekarang ia belum juga
mendapatkan jaket hitamnya.
“
mbak, kenapa dari tadi saya gak ada lihat warna hitam? “ tanya Kara kepada
salah satu karyawan butik tersebut.
“
sesuai tren tahun ini, kami hanya menyediakan pakaian dengan warna yang cerah
saja, tidak hanya butik kami, hampir semua butik menggunakan warna yang cerah.
“ ujar karyawan butik itu sambil menunjukkan beberapa pakaian dengan warna yang
sangat dibenci Kara.
“
sudah-sudah, letakkan kembali pakaian itu. “ katanya dan hendak keluar dari
sana. Jubah berwarna merah. Terpampang indah disana. Warnanya yang terlampau
norak tentu saja tidak akan menarik perhatiannya, tetapi wanita itu terlihat
serius memperhatikan setiap lekukan pada jubah tersebut.
“
jubah ini koleksi terbaru kami, kalau anda mau mencobanya, saya akan ambilkan
untuk anda. “ karyawan itu menatapnya seakan menunggu perintah darinya.
“
gak ada warna hitam? “ ucapnya yang ternyata masih mengharapkan warna hitam.
“
maaf sekali, tidak ada.. tapi, apa anda tidak tertarik dengan jubah ini? Kami
baru saja mengeluarkannya, bisa jadi beberapa menit kemudian jubah ini akan
menjadi milik orang lain. “ jawabnya lembut.
“
udah ambil saja, paling jubah ini jadi makhluk asing dilemari baju lu.. “
sahabat tercintanya berhasil mendapatkan dirinya, setelah diacuhkan olehnya, ia
bersusah payah mencarinya.
“
lu gak ngikutin gw kan? “ ujarnya yang terlihat malas.
“
is.. gw lagi temani abang gw! Kebetulan lihat lu.. “
“
oh. Dia sudah balik? “
“
hem.. tapi mau pergi lagi. Udah ambil aja tu jubah, kalau lu pakai jubah hitam
disana, ntar lu kelihatan seperti sedang berkabung.. lu gak mikir itu apa? Si
merah ini bagus kali.. kalau aja ni untuk cowok, pasti udah direbut abang gw. “
ia tidak menyadari kepergian Kara. Si penggila hitam itu malah asik menelusuri
rak lainnya dan membiarkan Rena berbicara seorang diri sendiri.
“
Rena.. lu terlalu berisik.. “ pikirnya sambil terus mencari jaket hitamnya.
Makan malam bersama keluarganya selalu ia
hindari, ia lebih memilih menyantap makanannya di balkon kamarnya, tetapi
disaat terlihat seseorang dari kejauhan, barulah ia kembali masuk kedalam
kamarnya dan menutup pintu balkonnya dengan rapat. Pada malam hari Rena sering
sekali meneriaki namanya, letak rumah Rena yang tepat berada didepan rumahnya
membuat Rena dapat dengan mudah untuk mengganggu sahabatnya yang gemar
menyendiri itu. Tapi pada malam itu, sosok yang terlihat disana bukanlah
sahabatnya. Pria tampan berbaju merah. Pria itu berhasil membuat Kara
terus-terusan memperhatikannya. Pria itu berpegangan pada pagar di balkon
kamarnya Rena, memandang langit dan sesekali menarik nafas panjang lalu
menghembuskannya dengan perlahan. Menikmati setiap detik yang ada. Hujan turun
diikuti dengan hembusan angin. Kara buru-buru masuk kedalam kamar guna
menghindari tempiasan air hujan, dari dalam kamar ia mengintip keluar,
menepikan gorden jendelanya, dapat terlihat senyuman pria itu, ia membiarkan
tubuhnya terkena air hujan, melentangkan kedua tangannya untuk dapat merasakan
hempasan angin yang membelai tubuhnya.
“
itu siapa ya? Apa mungkin abangnya Rena? Kok gak mirip seperti difoto? “ pikirnya.
“
lu ngapain kak? “ Zelo sang adik menyadarkannya. Tidak ingin ketahuan sedang
mengintip, ia mendorong adik laki-lakinya keluar dari kamarnya dan tidak lupa
untuk menutup pintunya. “ kak, mama menyuruh gw untuk mengingatkan lu, lu udah
packing gak? Jangan sampai ada yang tertinggal! “ teriak Zelo dari luar.
Mendengar perkataan adiknya, ia baru menyadari, ia belum menyiapkan apapun. Tak
butuh waktu lama, dengan cepat sebuah koper yang tentunya berwarna hitam sudah
terisikan banyak pakaian yang juga berwarna hitam, tetapi, ada satu pakaian
yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Jubah berwarna merah. Ternyata ia jadi
membeli jubah itu.
Menyiram tanaman dipagi hari adalah hal
yang membosankan, ia terpaksa melakukan itu dikarenakan paksaan dari ibunya.
“
Kara, yang semangat dong, bukannya besok kamu sudah berangkat, mana
senyumannya? “ ibunya sangat senang mengganggu putrinya itu, melihat putrinya
yang jarang tersenyum bahkan mungkin hampir tidak pernah tersenyum membuatnya
semakin giat mengganggunya.
“
tinggalkan aku sendiri ma.. “ keluhnya yang lelah diganggu terus-menerus dengan
ibunya. Ibunya pun meninggalkannya diiringi tawanya yang renyah. Ia kembali
serius menyiram tanaman. “ lihat gak ya? “ batinnya berkata bahwa ada seseorang
sedang memperhatikannya dari balkon kamarnya Rena. Keinginannya untuk melihat
terlalu besar, namun gengsinya lebih besar dari pada itu. Ia pun mengulur
keinginannya dan memilih masuk kedalam rumah.
“
Kara, kesini sebentar.. “ perintah Ayahnya.
“
ada apa? “ ia sudah duduk disamping Ayahnya dengan menyilangkan kedua kakinya.
“
benarkan kakimu itu Kara.. “
“
ia.. ada apa sih pa? “ katanya yang sudah membenarkan posisi kakinya.
“
kamu yakin mau berlibur sendiri? “
“
gak lama kok pa, tenang saja.. “
“
kak, jangan lupa tuh, belikan gw parfum! “
“
gak janji. “ ia sudah melenggang kekamarnya. Mengamati barang bawaannya untuk
esok hari. Tidak terlalu banyak, hanya koper kecil dan sebuah ransel. Beberapa
buku bahasa perancis dan juga sebuah peta. “ sepertinya sudah lengkap. “ ia mengambil
sebuah buku lalu duduk di balkon kamarnya. Membaca buku selalu ia lakukan, ia
bahkan lebih memilih membaca dari pada harus menonton film apapun itu. Atau
mungkin mendengarkan musik dari pada menonton konser secara langsung, segala
sesuatu yang berbau kesunyian pasti akan menjadi pilihannya.
Menghabiskan malam dibalkon kamarnya,
mendengarkan musik sambil menuliskan sesuatu, hanya coretan biasa. Besoknya ia
akan memulai perjalanannya, berlibur seorang diri di Kota yang memiliki sebuah
simbol yaitu Menara Eiffel. Memikirkannya saja sudah membuatnya merinding,
tidak bisa ia bayangkan seberapa cantik kota itu. Mengingat ia harus berangkat
dipagi hari, ia pun memutuskan untuk segera tidur. Disaat ia hendak masuk
kedalam kamarnya, Langkahnya terhenti.
“
kali ini gw harus lihat! “ batinnya kembali mengatakan bahwa ada sepasang mata
sedang memperhatikannya, tentunya dari balkon kamarnya Rena yang terdapat tepat
dihadapan balkon kamarnya. Tetapi berat untuknya membalikkan tubuhnya. “ ah..
sial! Kalau memang benar ada orang disana, gw harus ngapain coba? Acuhkan saja
deh. “ ia segera masuk dan menutup pintunya. Jendelanya yang tidak tertutup
rapat dapat memperlihatkan kepadanya seseorang yang berada disana, seorang pria
yang kemarin sempat menarik perhatiannya, dan kini pria itulah yang
memperhatikannya, pria itu bahkan dapat mengetahui keberadaanya dibalik
jendela. Tidak banyak yang pria itu lakukan, hanya tersenyum lalu menghilang
dari sana. “ hah? Apa gw kelihatan dari sana? Tajam banget penglihatan tuh cowok.
“ kalimat itu merupakan kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum dirinya
tertidur pulas dan terbangun dipagi hari untuk segera berangkat ke bandara Soekarno-Hatta
dan memulai perjalanannya ke paris.
Bandara Charles de Gaulle. Bandara yang
terletak dipinggir kota Paris ini menjadi pintu masuk udara dari berbagai
pesawat di seluruh dunia. Tidak sempat untuknya mengagumi kemegahan bandara
tersebut, ia sudah bersiap-siap untuk membeli tiket kereta dari bandara menuju
Paris. Memasukkan 8 Euro kedalam mesin
e-Ticket berwarna hijau dan tidak lama dari itu tiket kereta menuju Paris pun
sudah ditangannya. Setelah naik turun kereta sebanyak 2 kali, akhirnya ia dapat
melihat keindahan Menara Eiffel. Berdiri megah dihadapannya. Setelah duduk
sejenak ditaman yang terletak tidak jauh dari sana, ia mulai mencari hotel
untuk tempatnya beristirahat. Londres Eiffel menjadi pilihannya, posisinya
tidak terlalu jauh dari Menara Eiffel sehingga ia dapat dengan mudah untuk
bermain kesana. Hari ini ia lewati dengan beristirahat. perjalanan yang
melelahkan, menurutnya.
Terbangun ditengah malam. Bersusah payah
ia menutup mata, rasa kantuk tidak juga melanda. Dibukanya kain gorden yang ada
disamping kasurnya. Terlihat beribu lampu disana, kontras membuat matanya
membesar dan keinginannya untuk kembali tidur pun menghilang. Dengan cepat ia
meraih jaket hitamnya lalu melenggang keluar hotel.
“
wah.. luar biasa.. “ ujarnya setelah terkagumkan dengan keindahan kota
tersebut. Dimalam hari Paris akan terlihat lebih indah dikarenakan
lampu-lampunya yang menghiasi setiap sudutnya. Ia langkahkan kaki sesuka
hatinya, tak terpikirkan lagi olehnya bahaya yang akan melanda, tersesat atau
tidak ia bahkan tidak menyadari itu. “ duh, gw dimana nih? Mereka kenapa liatin
gw terus? “ setelah menyadari banyaknya pria berkulit hitam yang sedang
mengamatinya, disaat itu juga ia baru menyadari bahwa dirinya telah tersesat.
Tanpa peta dan juga dompet. “ habis nih gw, ayo lari.. lari.. “ mencoba
berlari, tetapi kakinya sudah keburu lemas untuk itu, yang terlihat hanya
langkahnya yang seperti diseret olehnya.
“
hey you! “ teriak pria berkulit hitam itu, tidak berani menoleh, kali ini ia
benar-benar berlari. Mencari tempat keramaian untuk dapat menyelamatkan
dirinya.
“
huh, syukur.. “ terduduk disebuah kursi yang terdapat dipinggir jalan. Kembali
mengamati keadaan di sekelilingnya. “ duh.. ini dimana lagi? “ masih pada
tempat yang tidak ia ketahui. Wajahnya terlihat menyedihkan. Berbeda dengan
seorang pria yang sedang duduk disampingnya. Pria itu tersenyum menatap langit
yang pada saat itu terlihat sepi tanpa bintang. Sempat terpikirkan olehnya
tentang kejiwaan pria tersebut, tetapi setelah pria itu memandangnya. “ cakep
banget. “ batinnya.
“
kenapa lu liat gw? “ ujar pria itu menggunakan bahasa indonesia, kontras
membuatnya bahagia bukan main.
“
hah? Lu bisa bahasa indonesia? “ tanyanya histeris.
“
... “ pria itu hanya diam sambil terus memandangnya.
“
sakit jiwa kayaknya. “ ucapnya pelan lalu beranjak dari sana.
“
kesasar? “ kata pria itu yang sudah bangkit dari duduknya dan sepertinya hendak
pergi dari sana.
“
ya? Ah.. iya.. “ ucapnya sedikit malu.
“
mau sekalian sama gw? Sepertinya kita tinggal di hotel yang sama. “ katanya
sambil memperhatikan card yang terlihat dari saku celana wanita itu.
“
oh ya? “
“
ini, sama bukan? “ pria itu memperlihatkan cardnya yang ternyata serupa dengan
miliknya. Kara mengikuti kemana pun pria itu berjalan. Ia terlihat
berhati-hati, berbeda dengan pria yang ada disampingnya, pria itu dengan santai
melangkahkan kakinya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya,
sambil tersenyum matanya menelusuri setiap sudut di kota tersebut. Tak lupa
pula ia mengambil beberapa gambar menggunakan kameranya. Keindahan Paris pada
malam hari patut di abadikan.
“
eh tunggu! Sembunyi, sembunyi, ayo sembunyi! “ ia menarik pria itu untuk segera
menyelamatkan diri mereka, tidak jauh dari mereka terlihat kumpulan pria
berkulit hitam yang tadinya mengejarnya.
“
kenapa sih? “ pria itu tidak mau beranjak dari sana.
“
itu preman.. kita lari aja deh.. “
“
gak perlu, kasih aja uang lu.. ntar juga baik merekanya.. “
“
ih, gak yakin gw, lagian gw gak bawa dompet.. “ masih terus berusaha menarik
pria itu untuk menjauh dari sana. “ oh my god! “ tepat berada dihadapannya,
Lima orang pria berkulit hitam berdiri dengan gagah. Menatap mereka berdua
dengan seramnya. Berbicara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti Kara,
tetapi dimengerti oleh pria yang ada disampingnya. Pria itu terlihat memberikan
dompetnya kepada preman tersebut, tidak lama dari itu preman tersebut sudah
menghilang dari hadapan mereka. “ lu masih bisa tersenyum? Dompet lu, kenapa lu
kasih ke mereka? “ menatap heran pria itu. Ia kembali melangkahkan kakinya
sambil menjawab pertanyaannya.
“
kan ada lu.. “ katanya dengan santai.
“
gw? Kenapa dengan gw? “
“
ya lu yang ganti semua isi dompet gw, preman itu kan ngejar lu, bukan gw. “
“
hah! Kenapa begitu? Lagian dari mana lu tahu kalau tu preman ngejar gw? “
“
kami sudah mengobrol, bukannya lu dengar sendiri? Oh.. lu gak bisa bahasa
perancis? Haha.. Gw lapar, belikan gw makanan. “ pria itu mendekati penjual
Hotdog, ia langsung memesan dua porsi hotdog, sambil menunggu ia mengobrol
dengan si penjual hotdog tersebut.
“
semoga ini hanya mimpi. Hah, dengan mudahnya dia kasih dompetnya, dan dengan
mudahnya juga dia minta gw mengganti semua isi dompetnya, apa dia sudah gila?
Memangnya.. “ sebuah hotdog menempel dimulutnya, pria itu menghentikan
omelannya dengan cara menempelkan hotdog tersebut ke mulutnya. Nyatanya itu
berhasil. Setelah ia memberikan 6 Euro kepada si penjual hotdog, dengan langkah
cepat ia mengejar pria itu yang sudah mendahuluinya.
“
apa! “ Kara kaget setelah mendengar perkataan pria itu.
“
gak perlu segitunya, ini sudah menjadi tanggung jawab lu. Pokoknya sampai
liburan gw selesai, lu yang ngurus semua biaya gw, termasuk kamar hotel. “
katanya sambil menarik kopernya masuk kedalam kamarnya.
“
ya tapi kenapa harus dikamar gw? Memangnya kenapa dengan kamar lu? “
“
gw mau bayar pakai apa? Segala sesuatunya yang berbau uang ada didompet gw. “
ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
“
ya tapi kan.. “
“
kecuali lu mau sewakan gw kamar yang baru.. “
“
gila aja, satu kamar aja udah mahal banget. “
“
ok kalau begitu. Tuh sofa, lu tidur disana, gw disini. “ ia menarik selimut
lalu tertidur. Sedangkan Kara, wanita itu terlihat terpukul akan peristiwa yang
baru saja terjadi, hanya dalam beberapa menit masalah itu telah merenggut semua
ketenangannya. Dan sekarang, ia terpaksa berbagi kamar dengan pria yang bahkan
belum ia kenal. Tidak sempat memarahinya, pria itu sudah tertidur dengan pulas.
Akhirnya ia memaksakan dirinya untuk tidur disebuah sofa.
“
syukur sofanya gak terlalu buruk. “ Hening.
Keributan terjadi seiring terbitnya
matahari. Kara yang sudah tidak dapat menahan desakan pada perutnya
terus-menerus meneriaki Pria itu yang sedari tadi tidak kunjung keluar dari
kamar mandi. Sudah satu jam pria itu disana, ia tetap tidak menghiraukan
teriakan Kara.
“
mau sampai berapa jam lu didalam? Perut gw mules banget nih. “ ujarnya. Nada
bicaranya terdengar pelan, desakan pada perutnya telah merenggut semua
kekuatannya. Keringat mulai terlihat, membasahi keningnya yang putih bersih.
Menyandarkan tubuhnya ke lemari yang terletak didepan pintu kamar mandi, sambil
terus memegang perutnya yang semakin terasa perih.
“
huh.. sorry! Lama ya? “ ia keluar dengan senyumnya yang menawan.
“
banget. “ katanya yang sudah masuk kedalam kamar mandi. Pria itu tertawa dengan
keras, wajah Kara begitu lucu, ia bahkan sampai berkeringat.
“
lucu banget tuh anak. Sepertinya dia gak ingat sama gw, hem.. baguslah. “
Sembari menunggu Kara, pria itu kembali memainkan kameranya, mengambil beberapa
gambar yang menurutnya penting. Senyuman dibibirnya menunjukkan akan
kepuasannya terhadap gambar yang ia ambil. “ sudah selesai? “ katanya ketika
melihat Kara keluar dari kamar mandi.
“
hem.. “ jawab wanita itu singkat.
“
hari ini kita kemana? “ katanya yang masih asik mengambil gambar.
“
kita? “
“
iya dong, gimana kalau kita ke Arc De Triomphe? “ pria itu terlihat bersemangat.
“ lu beneran kagak ada uang sama sekali? “
“ Nudi.. itu nama gw.. “
“ huh, gw bukan tanya nama lu.. “ mengambil ranselnya dan memasukkan
beberapa barang yang dianggapnya penting untuk dibawa.
“ wah.. sepertinya cuaca hari ini mendukung banget, ayo buruan, gw udah
gak sabar pengen foto-foto disana, gerbang kemenangan.. “ ia sudah siap dengan
kamera yang selalu tergantung dilehernya. Hanya itu.
“ jadi Cuma kamera itu yang tersisa? “ tanya Kara sambil memakai
sepatunya. Pria itu hanya tertawa, menatap dirinya dicermin, cukup lama.
Setelah itu ia berlari mengikuti Kara yang sudah keluar dari kamar.
Saat ini mereka sedang berada
di dalam kereta bawah tanah Metropolitan, yang biasanya disebut Metro. Metro
Paris adalah sistem kereta paling rumit tapi paling lengkap. Jalurnya begitu
komprehensif sehingga kereta Metro menjadi andalan wisatawan untuk pergi
kemanapun di Paris. Karena banyaknya pengguna Metro, mendapatkan tempat duduk
pun sangat sulit, Kara dan Nudi yang tidak kedapatan tempat duduk pun memilih
berdiri.
“
lu jangan disitu, sini dekat gw.. “ perintah Nudi ketika melihat banyaknya pria
yang ada disamping Kara.
“
kenapa? “ tanyanya yang tidak mengetahui keadaan disekitarnya.
“
sini.. “ katanya sembari menarik tangan wanita itu. Kini Kara tepat berada
dihadapannya, hatinya sedikit tenang setelah sedari tadi resah melihat ulah
pria-pria yang berada disamping Kara.
“
lu apaan sih? “ ujarnya yang tidak begitu nyaman dengan perlakuan Nudi.
“
begini lebih baik.. “ ia tersenyum, melihat banyaknya orang yang sedang
memperhatikan mereka membuatnya semakin berani dalam bertindak. Setibanya
mereka, tidak ingin berlama-lama, Nudi langsung menarik tangan Kara dan membawa
wanita itu keluar dari Metro yang sangat menyesakkan. Tangan kanannya terus
menggenggam tangan wanita itu sedangkan tangan kirinya sibuk mengotak-atik
kameranya.
“
lepasin dulu tangan gw, lu gak bakal bisa pakai kamera itu dengan satu tangan..
“
“
bisa kok.. “ masih menggenggam tangan itu dengan erat. “ Bakalan rame
pengunjung, lu mau kesasar? “ tersenyum kembali. Berjalan mendekati tempat yang
mereka tuju. Tibalah mereka disana, pagi hari keadaan disana tidak begitu
ramai, hanya terlihat beberapa mobil yang melintas di sekitar bangunanan
tersebut. Nudi sudah siap dengan kameranya, ia meminta Kara untuk menempati
posisi yang ia pinta.
“
ah, malas gw. Lu foto aja turis-turis itu. “ wanita itu memilih duduk diatas pagar
pembatas yang terletak dipinggir jalan.
“
dasar lu, mau liburan atau malas-malasan sih. “ walau kesal ia tetap tersenyum.
Seperti yang akhir-akhir ini sering ia lakukan, Diam-diam ia memotret wanita
itu. Setelah puas dengan gambar yang ia dapatkan, ia menghampiri Kara yang
sedang duduk sambil melihat peta. “ peta? Untuk apa? “
“
ya untuk digunakan lah.. “ katanya yang masih serius melihat petanya.
“
gak perlu, gw sudah cukup tahu.. “ ia mengambil peta yang ada tangan kara lalu
memasukkan kembali kedalam ransel yang dipakai wanita itu. “ ini namanya Arc De
Triomphe, Ini adalah monumen yang dibangun Napoleon tahun 1806, dibangun
atas perintah Napoleon Bonaparte untuk memperingati kemenangan perangnya.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa tentara kebesarannya, nama-nama
mereka diukir di gerbang Arc De Triomphe ini. Makanya jangan duduk doang, lu
dekatin dong, mana tahu kelihat tuh nama-nama tentara, haha.. “
“
gak deh, dari sini saja tu bangunan sudah terlihat cukup besar. “
“
yasudah, gw kesana dulu. “ Pria itu sudah menghilang tertutupi wisatawan
lainnya, dan wanita itu, kini ia merasakan kenyamanan yang selama ini ia
rindukan, kehadiran Nudi telah merenggut masa sendirinya, kali ini ia
memanfaatkan waktu untuk menyendiri. Berjalan menjauhi Monumen itu, tidak tahu
kemana arah langkahnya, yang ia inginkan hanya ketenangan jiwanya. Tidak jauh
dari Monumen tersebut ia menenangkan jiwanya.
Ditengah jalan simpang 12 yang sangat
ramai, terdapat pohon besar yang
mampu melindungi puluhan orang dibawahnya, tetapi kini yang terlihat hanya seorang
wanita, besandar dipohon itu sambil mendengarkan sebuah lagu. Menutup kedua
matanya, tersenyum akan kenikmatan musik yang ia dengarkan, udara Kota Paris
yang sejuk semakin membuat dirinya nyaman. Sayangnya kenyamanan itu menghilang
begitu saja, tepat didepan matanya, seorang anak perempuan tertabrak mobil dan
terpental tidak jauh dari tempatnya berada. Hal itu kontras membuatnya bangkit dari
duduknya dan segera mendekati anak malang itu. Tak bernafas. Tabrakan keras itu
telah merenggut nyawanya, tidak lama dari itu mobil ambulan membawa jenazah
tersebut, keramaian yang tadinya terlihat kini menghilang siring kepergian
mobil ambulan tersebut. Kara yang pertama kalinya melihat peristiwa seperti itu
terlihat biasa saja. Ia malah kembali berjalan menuju pohon yang tadinya ia
tempati.
“
dia, dia kenapa? “ pikirnya. Tidak jauh darinya, Nudi berdiri terpaku sambil
menatap tajam kepergian ambulan itu, wajahnya terlihat kaku dan matanya
memerah, ia menggenggam sebotol minuman yang kini sudah rusak akibat kekuatan
genggamannya. Kara merasakan perubahan pada diri pria itu, Pria itu terlihat lemah,
dapat terlihat getaran pada kakinya. Ia terlihat tak mampu untuk berdiri lebih
lama, Kara yang semakin khawatir padanya pun langsung mendekatinya. “ lu
kenapa? Lu baik-baik saja kan? “
“
... “ pandangannya melemah, tubuhnya juga tak bergetar lagi, botol minuman yang
tadinya berada digenggamannya kini terjatuh ke aspal. Perlahan ia memutar
kepalanya lalu menatap wanita yang ada disampingnya.
“
enggak, gw gak kenapa-napa. “ jawabnya yang sedikit dipaksakan. “ selanjutnya
kita mau kemana? Gimana kalau kita ke Musee de Louvre, kita bisa lihat lukisan Monalisa
disana.. “ nada bicaranya kembali bersemangat, senyumannya merekah seakan ingin
menunjukkan kepada Kara bahwa dirinya baik-baik saja. Namun kepribadian Kara
yang tenang dapat dengan mudah menyadari getaran pada kedua tangannya. Nudi masih menggenggam kedua
tangannya guna menghilangkan rasa gugup yang tidak jelas penyebabnya.
“ kita pulang saja. “ ujar wanita itu sembari berjalan. Ia tidak mau
mengambil resiko dengan memaksakan keadaan pria yang sedang mengejarnya itu.
“ kok pulang sih, belum juga setengah hari, lagian gw kan mau naik ke
puncak monumen itu.. sayang banget kalau dilewatkan.. “
“ pulang! “ teriakannya memacu kecepatan langkahnya. Nudi hanya bisa mengikutinya
sambil tersenyum. Disaat wanita itu menghentikan langkahnya, senyumannya
semakin melebar, seakan mengetahui apa yang akan Kara katakan kepadanya.
“ kanan atau kiri? “ dengan menutupi rasa malu ia bertanya.
“ ahahha.. kirain lu udah tahu.. sini ikut gw. “ kebiasaanya disaat
berjalan, ia kembali menggenggam tangan wanita itu, melewati setiap perjalanan
sambil terus menggenggam tangan itu. Tak terlihat lagi perasaan tak nyaman
diwajah Kara. Pria itu dapat dengan mudah membuat wanita itu nyaman
terhadapnya.
Duduk disamping jendela yang
dapat mempertontonkan keindahan Kota Paris membuat Nudi tidak sabar untuk
langsung mendekati setiap keindahan itu. Berbeda dengan Kara yang sedang santai
mendengarkan musik dibalkon, tepatnya berada dihadapannya dan berbataskan kaca
nan besar itu.
“ keluar yuk.. bosan banget nih.. “ sambil terus mengetuk kaca yang ada
dihadapannya, berusaha untuk mengganggu wanita itu, tapi tak terlihat reaksi
apapun, mungkin dikarenkan musik yang Kara dengar. merasa teracuhkan, ia pun
berjalan menuju balkon.
“ huh, mendung? Pantas aja dingin.. “ ia duduk disamping Kara, menggosok
kedua tangannya yang terasa dingin. Menyadari atas kehadirannya, Kara mematikan
musiknya, ia baru menyadari gelapnya langit pada saat itu.
“ gw lapar.. “ ujarnya pelan.
“ maka itu, ayo kita keluar. “ ia sudah berdiri hendak mengambil jaket
dan payung.
“ mau hujan nih.. “
“ kan ada payung.. ayo buruan.. “
Di
sekitar Menara Eiffel terdapat lapangan rumput yang sangat luas yang bisa
dijadikan tempat bersantai. Tepatnya sebuah taman yang bernama Champs de Mars.
Taman yang dikenal dengan suasana romantisnya. Banyak pasangan
yang memilih berkencan disana, jadi jangan heran jika mendapatkan pasangan yang
sedang berciuman disana. Keindahan Menara Eiffel juga bisa dinikmati dari sana,
apalagi disaat malam hari, tentunya akan sangat memanjakan mata. Sejak tahun
2002 menara yang dirancang oleh Gustave Eiffel itu dilengkapi dengan ribuan
lampu pada badan menara dan juga terdapat lampu mercusuar pada puncak menara.
Pada malam hari lampu-lampu tersebut dinyalakan di waktu-waktu tertentu, dan
yang membuat Kara tersenyum, kini ia dapat melihat keindahan lampu-lampu
tersebut. Roti yang tadinya mereka beli pun belum sempat ia sentuh. Namun kilauan
cahaya kamera menyadarkannya.
“
jangan sembarangan foto gw dong. “ ia menyadari tingkah laku Nudi yang sering
memotretnya secara diam-diam.
“
hum.. “ ia langsung mengarahkan kameranya ketempat lain. Terfoto olehnya
sepasang kekasih yang sedang berciuman, yang pastinya tidak jauh dari mereka
berada. “ wow.. romantis banget.. “ ucapnya, tentunya dengan senyumnya yang
menawan dan berhasil membuat Kara tersenyum. “ lu senyum? Lu senyum karena gw?
Hem.. lu sudah mulai tertarik sama gw? “ katanya asal.
“
gw bukan senyum, tapi geli lihat lu. Orang ciuman kok difoto sih.. “
“
loh, itu kan seni.. segala macam ekspresi yang diperlihatkan manusia itu pasti
ada nilai seninya, lu lihat deh, terlihat dengan jelas rasa sayang yang begitu
mendalam dari ekspresi mereka.. “ jelasnya dengan semangat. Mendekatkan dirinya
dengan Kara agar dapat dengan mudah memperlihatkan hasil foto yang sudah ia
ambil, wanita itu terlihat serius disaat melihat setiap fotonya, tiba disatu
foto, seorang wanita sedang duduk disamping jendela nan besar, seperti sedang
merenungkan sesuatu, menghadap jendela yang mempertontonkan keindahan Kota
Paris. “ tadi malam lu mikirin apa? Kenapa gak tidur? Gak nyaman tidur di sofa?
“ sambungnya sambil menatap wanita yang ada disampingnya.
“
lu foto gw? Kok gw gak tahu? “
“
pikiran lu melumpuhkan sistem kepekaan tubuh lu, malam ini biar gw yang tidur
di sofa. “ ia kembali memotret apa saja yang menurutnya indah, tidak puas, ia
pun memilih berdiri dan berjalan kesana kemari. Kara terlihat tenang dan tetap
duduk disana. Diam-diam ia perhatikan Pria yang akhir-akhir ini menemaninya. Ia
merasa ada yang berbeda dari pria itu, pria itu terlihat tidak asing, hal
itulah yang membuatnya dapat dengan mudah menerimanya. Ia merasa nyaman disaat
berada disamping pria itu, Nudi yang sudah terbiasa menggandeng tangannya,
mengganggu ketenangannya, padahal mereka baru saja bertemu.
“
gw kenapa ya? Gw gak kenal dengan dia, tapi gw bisa dengan bisa percaya begitu
aja, berbagi kamar, kesana kesini berduaan, tangan gw dipegang terus-terusan,
kok gw gak nolak? Sepertinya yang aneh itu gw, bukan dia. “ pikirnya. Dari
kejauhan terdengar bahwa Nudi sedang memanggilnya, ia seperti sudah terbiasa
dengan itu, bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Nudi. “ apa? “
“
jalan-jalan yuk, kayaknya disana bagus.. “ matanya tidak henti-hentinya
menelusuri setiap sudut yang ada disana. Taman Champs de Mars yang begitu luas
akan sangat disayangkan jika tidak ditelusuri secara menyeluruh. Seperti biasa,
Nudi menarik tangannya, perlahan tangannya turun dan mengisi setiap rongga jari
wanita itu, menggenggam erat seakan tidak mau terpisah dengannya. Sepertinya
mereka lebih romantis dibandingkan pasangan-pasangan lainnya (itu menurut saya,
ihihi..)
Melangkahkan kaki dengan perlahan. Kamera
tergantung indah di dadanya. Tangan kirinya memegang payung dan tangan kanannya
menggenggam sesuatu. Sesuatu yang sudah menjadi keharusan untuk Nudi menggenggamnya.
Hujan turun dengan perlahan, setiap rintiknya semakin mendukung suasana romatis
disana. Dinginnya malam membuat setiap pasangan memeluk wanitanya. Dihadapan
mereka berdua. Kara terlihat tidak nyaman, ia langsung meminta kepada Nudi untuk
segera kembali ke hotel, tetap dengan senyumannya Nudi mengiyakan keinginannya.
Menikmati segelas teh panas. Minuman
kesukaan Kara tentunya. Duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding yang letaknya
disamping jendela nan besar itu. Tak terlihat Maru disana, pria itu sedang
berada didalam kamar mandi, sudah hampir satu jam ia disana, tetap seperti
biasa, tak terdengar apapun disana. Berkali-kali Kara memperhatikan pintu yang
tertutup itu, memikirkan apa yang pria itu lakukan disana. Rasa kantuk perlahan
menjeratnya, setelah seharian tidak tidur, ia pun memutuskan untuk tidur lebih
awal.
“
tadi dia bilang gw tidur di kasur, oke, gw tidur di kasur. “ merebahkan
tubuhnya diatas kasur. Sekilas terlihat kerutan pada alisnya, ia sedang
memikirkan sesuatu, tidak lama dari itu ia bangkit, menarik selimut dan
membawanya ke sofa, malam itu ia memilih untuk tidur di sofa lagi. “ gimana pun
juga, dia sudah selamatin gw dari preman itu, gw berhutang banyak sama dia.
Oke, gw ngalah.. “ ia langsung menutup matanya dan setelah itu tertidur pulas.
Tidak lama dari itu, Nudi keluar dari kamar mandi. Sambil memegang perutnya ia
berjalan mendekati kopernya, mengambil beberapa obat lalu meminumnya. Perasaan
lega ia rasakan setelah meminum obat itu.
“
anak ini.. huh, dasar. “ melihat Kara tertidur di sofa membuatnya kesal, sudah jelas
bahwa tadinya ia sudah menyuruh wanita itu untuk tidur dikasur, sepertinya
wanita itu tidak mau mendengarkannya. Dengan tenang ia mengangkat tubuh mungil
itu dan memindahkannya ke atas kasur. Menyelimuti wanita itu dengan amat
tenang, tersenyum menatap kecantikan wajah yang ada dihadapannya. “ kalau saja
gw sehat, gw bakal terus terang dengan lu. “ ujarnya lalu beranjak ke sofa
untuk segera tidur.
Museum Louvre. tempat dimana terdapatnya lukisan
mahakarya Monalisa karya Leonardo da Vinci, patung Venus de Milo sampai patung
Firaun Ramses II, musuh Nabi Musa. Tidak cukup sehari untuk menjelajahi museum
yang merupakan salah satu museum terbesar didunia itu. Memerlukan 10 Euro untuk
dapat masuk kedalamnya. Tiket sudah berada ditangan Kara, mereka sudah tidak
sabar untuk segera masuk kedalamnya. Terdapat pyramide kaca berukuran besar
dihadapan mereka. Pyramid itu dibangun pada tahun 1989. Pyramide itu merupakan
pintu masuk utama ke dalam museum.
“ luar biasa.. “ ucap Nudi dengan
bangga. Terdapat banyak hasil karya seniman terkenal dunia disana. Nudi yang
sudah berkali-kali berlibur ke paris tidak pernah bosan untuk mengunjungi
museum itu. Karya seni yang luar biasa akan sangat sayang jika dilewatkan
begitu saja. Mengambil banyak gambar pasti akan ia lakuakan, tapi walau
hasratnya dalam memotret begitu besar, ia tidak pernah lupa dengan keberadaan
Kara. Seperti biasa, kemana pun kakinya melangkah, tangannya tetap menggenggam
sesuatu yang sepertinya sudah menjadi keharusan untuknya. Setelah seharian menjelajahi
seluruh bagian dalam museum, Meskipun pegal dan cape, namun semua itu terbayar
dengan keindahan dan nilai sejarah dari karya-karya seni yang ada disana. Tak
lama lagi malam akan tiba. Kara meminta untuk segera pulang, namun Nudi menahannya,
ada yang ingin ia tunjukkan kepada wanita itu, sesuatu yang sangat indah jika
disaksikan pada malam hari.
Rasa lelah yang mereka rasakan kembali
terbayarkan ketika melihat Piramida de louvre pada malam hari. Gelapnya malam
membuat piramida tersebut dapat terlihat dengan jelas, sinar lampu yang berada
didalamnya menembus piramida bagian atas sehingga hal tersebut menjadi tontonan
yang sangat indah. Ditambah keindahan bangunan yang berada disekitarnya. Mereka
berdua tersenyum, sekilas tak terlihat ekspresi lelah diwajah mereka.
“ gimana? Bagus kan? “ tanya Nudi.
“ hem.. lumayan. Gw capek nih,
kita pulang aja.. “
“ oke.. “
“ tangan lu kenapa? Kok dingin
banget? Muka lu keringatan gitu, kelelahan lu? “ menyadari akan dinginnya
tangan yang sedang menggenggam tangannya itu.
“ ah, iya, gw kelelahan, yasudah
kita pulang saja. “ melangkah dengan cepat, seakan mengejar sesuatu yang sedari
tadi Kara mencoba mencari tahu.
“ pelan dong jalannya, kenapa
sih? “
“ perut gw mules, ayo buruan.. “
“ kenapa harus di hotel coba? “
pikirnya dalam hati. Ia hanya bisa mengikuti langkah pria itu, semakin lama
tangannya semakin dingin, dapat Kara rasakan, tangan pria itu mulai
mengeluarkan keringat dingin. Selama didalam Metro, Nudi berkali-kali memukul
dadanya. Disaat Kara menanyakannya, ia hanya mengatakan sesak dikarenakan
keadaan Metro yang terlalu ramai. Menurutnya pria itu terlihat aneh. Setiba
mereka di hotel, pria itu dengan langkah cepat memasuki kamar mandi, dan
seperti biasa, butuh waktu yang lama untuk menunggunya keluar dari sana.
Dua jam sudah berlalu. Kara sudah lelah
menunggu pria itu, dirinya yang seharusnya membersihkan tubuhnya sudah
terlanjur tertidur di atas sofa. Nudi belum juga keluar dari sana. Didalam
heningnya malam, terdengar suara dari dalam kamar mandi, seperti suara
seseorang yang sedang memuntahkan sesuatu, sangat lama, suara itu menghilang
seiring keluarnya Nudi dari sana. Wajahnya terlihat lemah, seluruh tubuhnya
basah diakibatkan banyaknya keringat yang keluar dari tubuhnya. Berjalan
mendekati kopernya lalu mengganti seluruh pakaiannya. Disaat ia hendak tidur,
ia kembali kesal melihat Kara berada di sofa.
“ anak ini benar-benar, apa dia
gak mikirin kesehatannya? Seharian kelelahan kenapa dia memilih tidur disofa?
Apa gw harus selalu memindahkannya? “ celotehnya sembari mengangkat wanita itu
ke atas kasur. Setelah ia memasangkan selimut, ia berusaha untuk menegakkan
tubuhnya, namun tubuhnya yang pada saat itu begitu lemah, hal hasil ia terduduk
dan pingsan, kakinya terlipat diatas lantai dan tubuhnya tersandar ditepi
tempat tidur.
Secercah cahaya mendekat dari sela gorden
yang tidak tertutup rapat. Cahaya itu pula yang membangunkan Kara dari
tidurnya. Mengucek-ngucek matanya agar dirinya cepat sadarkan diri, berat,
kakinya terasa berat, ketika ia melihat ke arak kakinya, ternyata Nudi tertidur
disudut tempat tidur dan kedua tangannya menimpa kakinya. Wanita itu terlihat
tenang, ia malah mencoba menarik tubuh pria itu keatas kasur. Dapat ia rasakan
panasnya tubuh Nudi pada saat itu. Ia segera mengambil plaster untuk meredakan
demam. Setelah menyelimuti pria itu, ia keluar dari kamar dan berjalan keluar
hotel, mencari makanan hangat yang dapat mengisi perutnya dan juga Nudi.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia mendapatkan restoran yang menyediakan
bubur, walau buburnya berbeda dengan bubur yang ada di Indonesia, itu tidak
jadi masalah. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya kembali ke hotel. Kosong.
Tak terlihat siapapun disana.
“ gw disini.. “ kata seseorang
dari arah balkon. Kontras membuat Kara berlari kesana. Dilihatnya Nudi sedang
mengotak-atik kameranya sambil sesekali tersenyum.
“ lu, udah sembuh? “ wanita itu
sudah duduk disampingnya, menatapnya panik sembari meletakkan makanan yang baru
saja ia beli diatas meja.
“ jadi lu yang pasang plaster
ini? “ jawabnya tenang sambil meraba keningnya.
“ hem.. “ ia mengangguk.
“ lu beli apa? Kebetulan gw
lapar. “ matanya sudah memperhatikan bungkusan yang ada diatas meja.
“ bubur. Buruan makan, biar
cepat sembuh. “ ia membuka bungkusan itu lalu diberikan kepada Nudi, tidak lupa
juga ia berikan sendok dan juga air mineral.
“ uh.. perhatian banget. Kenapa?
Kok lu jadi baik begini sama gw, selama ini lu kan gak berekspresi, Cuma bisa
senyum, itu juga beberapa kali. Haha.. “ sambil tersedak ia menelan setiap
sendokan bubur yang masuk kedalam mulutnya. Kara hanya menatapnya heran,
terbesit rasa penasaran dengan keadaan pria itu. “ kenapa? Ada apa lagi? Apa gw
terlihat tampan disaat makan? “
“ gw rasa ini bukan demam
biasa.. apa gak periksa ke dokter aja? “ wajahnya terlihat serius.
“ sudahlah, Cuma demam, mungkin
karena kelelahan. Lu gak makan? Mau gw suapin? “ katanya sambil menyodorkan
sesendok bubur kepada Kara. Wanita itu terlihat salah tingkah, ia malah
meninggalkan Nudi dan berjalan kekamar mandi. Ia sadar hingga saat ini dirinya
belum juga membersihkan tubuhnya. Tidak perlu waktu lama, setelah ia selesai
memakai pakaiannya, ia langsung keluar dari sana. Dilihatnya pria itu sudah
berpakaian rapi, dengan kemeja merah hati dan celana biru terongnya. Begitu
norak dimata Kara, namun matanya tidak bisa menghindari pemandangan itu, Nudi terlihat
tampan dengan setelan maskulinnya. “
seharian ini lu terlalu banyak natap gw, jangan.. lebih baik jangan.. “ katanya
yang saat itu sedang merapihkan kemejanya didepan cermin.
“ ih, pakaian lu norak banget. “
jawab Kara singkat.
“ ini lagi trend kali.. korean
style.. dari pada lu, setiap hari berkabung terus.. “ sindirnya yang berhasil
membuat Kara kembali menatapnya.
“ kenapa? Gw salah ngomong?
Benarkan? “ senyumnya terlihat mencela.
“ lu ngapain pakai pakaian
serapi itu? “ katanya berusaha mengganti topik.
“ hari ini kita ke Katedral
Notre Dame, makanya harus rapi.. “
“ apaan itu katedral? “ Kara
sudah siap memeriksa isi ranselnya, wanita itu sepertinya menyetujui perkataan Nudi.
“ gw sih bilangnya gereja
gothik.. ntar gw jelaskan sama lu.. udah selesai kan? “
“ hem.. “
“ ok! “ tidak lupa mengambil
ransel milik Kara lalu ia pakai hingga menggantung dipundaknya, setelah itu
menarik tangan wanita itu. Perjalanan mereka hari ini pun dimulai.
Katedral Notre Dame. Inilah titik nol Kota
Paris dengan gereja yang memiliki legenda Si Bungkuk dari Notre Dame karya
Victor Hugo. Gereja besar yang bergaya gothic itu disebut-sebut sebagai gereja
dengan arsitektur terbaik di Eropa. Saat ini selain digunakan sebagai tempat
wisata notre dame juga masih digunakan untuk misa. Nudi sedang asik memotret
sedangkan Kara memilih duduk disalah satu kursi yang terdapat disana. Ada
banyak turis disana, Nudi yang baru saja menyadari banyaknya turis yang
berdatangan dengan reflek berlari mencari Kara. Wanita itu tidak terlihat.
Berkeliling ia mencari wanita itu tetap tidak terlihat. Ia menyandarkan
tubuhnya salah satu pohon yang terdapat disana. Merasakan sesak pada dadanya,
berlarian kesana kemari membuatnya kelelahan. Wanita itu, akhirnya ia
mendapatkan wanita itu. Kara sedang duduk dibawah pohon yang letakknya tidak
jauh darinya berada. Disaat ia hendak mendekatinya, langkahnya terhenti.
“ anak itu kenapa begitu
merepotkan? Tapi, sepertinya gw yang membuat keadaan seperti ini, tepatnya
bukan gw, tapi hati ini. Kapan gw bisa mengatakan semuanya kepadanya? “
memegang dadanya yang semakin terasa sesak. Setelah menunggu beberapa menit,
dadanya kembali normal, ia baru memberanikan diri unutk menghampiri Kara.
Wanita itu kaget bukan main, ternyata sedari tadi ia juga mencarinya, tapi
karena kelelahan ia memilih duduk disana.
“ lu dari mana aja? Lama banget
sih? “ omelannya terdengar manja, ini pertama kalinya Kara mengeluh kepadanya.
Pria itu tersenyum karenanya. Ia menarik tangan wanita itu dan membawanya ke
suatu tempat. Beberapa waktu kemudian, tibalah mereka disuatu tempat.
Istana Versailles. Istana Versailles
terletak 20 km dari pusat kota paris. Istana itu merupakan istana yang dibangun
pada masa kekuasaan Raja Louis XIV. Istana itu juga merupakan salah satu saksi
bisu revolusi Prancis pada abad 18. Sayangnya kunjungan ke dalam istana
Versailles ditutup pada hari itu. Namun kedatangan mereka tidaklah sia-sia
karena mereka masih bisa berkunjung ke taman istana versailles yang tak kalah
indahnya. Taman dengan luas mencapai 100 hektar ini dibangun sekitar tahun
1600-an. Taman itu dirancang oleh Andre Le Notre dengan gaya simetris. Di taman
itu terdapat berbagai jenis pohon, bunga, dan dihiasi oleh patung-patung yang
artistik. Saking luasnya, Di taman itu disediakan jasa transportasi berupa
mobil untuk tour atau mengelilingi taman. Butuh waktu yang lama untuk dapat
menelusuri seluruh taman itu. Mereka memilih berjalan santai sambil menikmati
pemandangan disana. Seperti biasa, Nudi melepaskan tangan Kara untuk
mengotak-atik kameranya, setelah itu ia kembali menggenggam tangannya.
“ panas banget sih.. “ keluh Nudi.
Kara yang menyadari keluhannya langsung membuka payung yang sedari tadi berada
di tangannya. “ uh.. baik banget.. “Nudi mencoba menggoda Kara dengan
senyumannya. Namun yang terlihat, wanita itu hanya menatapnya tanpa ekspresi
sedikitpun. “ sulit banget untuk bisa melihat senyum lu.. “ wajahnya terlihat
murung, tak disangka, Kara tersenyum melihat itu. Pertama kali baginya melihat Nudi
murung seperti itu. Senyum yang tergambar dibibirnya membuat Nudi kembali
tersenyum dan semakin bersemangat disaat melangkahkan kakinya.
Sebuah patung berdiri kokoh di tengah
taman. Dengan lihai Nudi mengarahkan kameranya ke patung tersebut, tangan
kanannya yang masih menggenggam tangan wanita itu tidak menghalangi dirinya
untuk memotret apapun.
“ indahnya.. “ pujinya.
“ apanya yang indah? Patung
doang juga. “ sambar Kara.
“ selera seni lu payah. Sini,
biar gw tunjukan yang lebih indah. “ ia menarik tubuh wanita itu, merangkul
wanita itu dan mendekatkan tubuhnya dengannya, lalu ia mengarahkan kamera pada
mereka. “ hitungan ketiga lu harus senyum, ingat itu! “ katanya semangat. Tepat
dihitungan ketiga kilauan cahaya dari kamera terpancar, Nudi langsung melihat
hasil jepretannya. “ mana senyumnya? Senyum dong.. kita ulangi lagi. “ ia
kembali mencoba memotret mereka berdua. “ duh.. lu bisa senyum kan? “ keluhnya
yang tidak juga melihat senyuman dibibir wanita itu. Kali ini tepat pada
hitungan ketiga, sebuah kecupan lembut melayang di pipi wanita itu, kontras
membuat wanita itu terdiam, pipinya merona, Nudi yang menyadari itu pun tersenyum
puas. Ia melepaskan genggamannya lalu berjalan mendekati patung yang lainnya.
Sedangkan wanita itu, ia masih berdiri mematung disana. “ wajah lu memang gak
tersenyum, tapi gw yakin, hati lu pasti tersenyum. Pipi lu memerah, apa lu
sudah mulai tertarik dengan gw? Semoga tidak.. “ batinnya disaat menghampiri
patung lainnya.
“ ada apa ini? Kenapa gw diam
saja? Dia, dia cium gw? Oh my god, gila, gw sudah gila, bagaimana mungkin! “ ia
berlari menghampiri Nudi lalu memukul pria itu, tidak terlalu keras, sepertinya
Kara tidak semarah itu, ia lebih terlihat seperti salah tingkah. Pukulannya
malah membuat Nudi tertawa geli. Melihat pria itu tertawa, wajahnya menjadi
murung.
“ sudah.. sudah, mari kita
berjalan kembali.. “ setelah kembali menggenggam tangan Kara, mereka kembali
berjalan. Menikmati indahnya taman itu. Tak ada satupun yang tidak pantas
dipandang disana, hanya prilaku para pasanganlah yang menurut Kara sangat
mengganggu. Disaat matanya mendapatkan pasangan yang sedang bermesraan,
wajahnya kembali murung. “ jangan begitu, dimata mereka kita juga pasangan.. “
ucapnya dengan penuh percaya diri.
Merenggangkan kedua kaki diatas
rerumputan. Menghilangkan rasa letih yang mulai mengganggu mereka. Wanita itu
terlihat sedang memandang kearah langit, tersenyum akan indahnya alam semesta.
Senyumannya yang sangat jarang terlihat sudah diabadikan dengan Nudi, sebuah
jepretan menyadarkannya.
“ jangan foto gw.. “ ucapnya
pelan.
“ gw gak foto lu, gw foto
senyuman lu.. “ jawabnya santai. Melihat satu persatu hasil jepretannya. Setiap
gambar yang ia lihat selalu membuatnya tersenyum. Terlihat keringat mengalir di
keningnya.
“ sama saja. Uh, lu keringatan?
Udara sejuk begini kok bisa keringatan sih? “ katanya sembari memeberikan
selembar tisu kepada Nudi.
“ gak tahu. Nih, pegang kamera
gw, gw mau pergi kesana sebentar. Jangan kemana-mana ya, gw gak lama. “ ia
sudah berlari yang tidak diketahui Kara kemana arahnya. Wanita itu menatap
kamera yang ada di tangannya, ia melihat foto-foto yang tadinya diambil Nudi.
Terlihat lagi senyuman dibibirnya. Hampir semua foto disana merupakan gambar
dirinya. Ia merasa tersanjung. namun, sebuah foto berhasil membuat senyumnya
menghilang, tetapi hatinya yang tersenyum. Sebuah foto dimana tadinya Nudi menciumnya.
Ia rasakan detak jantungnya yang semakin kencang, ia menyadari itu, selama ini,
disaat Nudi menggenggam tangannya, jantungnya selalu berdetak tak karuan, tapi
ia berusaha menepis semua itu, baginya terlalu cepat untuknya berpikir kearah
sana. Ia mematikan kamera itu lalu menggantungkannya di lehernya. Satu jam
sudah berlalu. Nudi belum juga terlihat.
“ sudah satu jam, gimana sih,
katanya gak akan lama.. “ keluhnya. Ia mulai merasakan bosan. Tidak seperti
biasanya, dulunya ia sangat menikmati waktu menyendirinya, tapi dikarenakan
kehadiran Nudi, akhir-akhir ini Kara mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu.
Pria tampan yang memiliki semangat hidup yang membara. Senyumnya yang menawan
dan pastinya akan dengan mudah menjerat hati seorang wanita. Didalam
keheningan, Kara terperanjat. Ia mengingat kejadian di museum yang lalu, ia mendapatkan
kondisi Nudi yang lemah. “ apa mungkin dia sakit lagi? Lagian tadi pagi dia
masih demam, ya, gw rasa demamnya kambuh lagi. Duh.. dimana sih dia? “ ia
mondar mandir kesana kemari. Mencari sesosok pria yang selama ini menemani hari
berliburnya. Setengah jam terlewatkan begitu saja. Kara semakin khawatir. “
gimana ini? duh, no Hpnya pun gw gak punya.. “ kekhawatirannya menurun setelah
mendapatkan pria itu sedang berjalan mendekatinya. Kini setangkai bunga mawar
berada ditangannya. Pria itu memberikan sebuah mawar untuk permintaan maafnya
kepada Kara.
“ sorry udah buat lu menunggu. “
tersenyum ramah kepada wanita itu. Kembali menggenggam sesuatu yang selama ini
sudah menjadi keharusannya. Membawa wanita itu pergi dari sana. Tidak jauh dari
hotel mereka berada. Mereka menyinggahi salah satu restoran untuk mengisi perut
mereka yang mulai terasa kosong. Sesekali pria itu mencoba berbincang dengan
salah satu pengunjung lainnya. Membicarakan sesuatu yang tidak dimengerti Kara.
Yang hanya ia mengerti, mungkin apa yang mereka bicarakan mengandung lelucon,
terlihat dari tawaan Nudi yang renyah. “ kok diam? Kenapa? Gak ngerti ya?
Ahahha.. gw bicarain lu.. pria itu bilang kalau kita pasangan yang serasi,
gimana? “ katanya disela obrolannya bersama pria asing itu.
“ gimana apanya? “ tanya Kara
yang tidak mengerti maksud dari perkataannya.
“ ya dia bilang kita serasi.. “
“ serasi apanya? Sepertinya
matanya terganggu. Udah sana ngobrol, gw mau dengerin lagu. “ Kara langsung
memakai headsetnya. Menghiraukan pandangan Nudi yang belum juga putus.
“ ya, kita memang gak serasi.
Kita bahkan jauh berbeda. “ batinnya. Ia kembali mengobrol dengan pria asing
itu. Malam hari mereka habiskan disana, menikmati berbagai macam teh dan juga beberapa
kue yang terlihat nikmat. Hari semakin gelap, Nudi memutuskan untuk segera
kembali ke hotel.
Duduk dilantai bersandarkan kasur.
Mendengarkan alunan musik melalui headset yang tergantung ditelinganya.
Mengacuhkan Nudi yang sedari tadi sibuk membongkar kopernya. Setelah pria itu
mendapatkan sebuah botol yang berisikan obat-obatan, wajahnya terlihat tenang,
ia langsung meminum obat tersebut lalu mendekati Kara dan duduk disampingnya.
Melihat tidak ada reaksi dari wanita itu, ia mencabut salah satu headset dan
memakainya.
“ lu dengarin lagu apa sih? “
ucapnya sembari menggantungkan headset itu ditelinganya. Tak terdengar suara si
penyanyi disana. “ apaan nih? Musik doang? Piano instrumental? “ perkataannya
membuat wanita itu kesal, baginya pria itu terlalu berisik. Kara hendak bangkit
dari duduknya, tapi dengan cepat ditahan oleh Nudi. Pria itu menggenggam
tangannya dengan erat. “ tunggu dulu..
gak senang banget sama gw. Ntar aja menjauh dari gw-nya, ada waktunya
untuk itu kok.. “ masih menggengam tangan itu. Ia kembali memakai headset yang tadinya
terlepas, ia juga memakaikan kembali headset tersebut kepada Kara. Mereka
mendengarkan musik itu dalam diam. “ gw sedang jatuh cinta.. “ ucapnya pelan.
“ apa? “ tanya wanita itu yang
sedikit kaget dengan perkataannya.
“ ia, gw sedang jatuh cinta.. sudah
lama sih, tapi sekarang gw semakin mencintai wanita itu. “ ia tersenyum sambil
menghayalkan wanita yang ada dipikirannya.
“ oh.. “ hanya itu reaksi yang
ditunjukkan Kara.
“ tapi gw gak bisa
mengungkapkannya.. “ tambahnya lagi.
“ kenapa? “ Kara mulai penasaran.
“ karena gw gak bisa selamanya
menggenggam tangannya. “Nudi menatapnya. Cahaya matanya menggambarkan sebuah
keyakinan yang mendalam. “ walau begitu, apa dia masih bisa menerima gw? Gw
yang kemungkinan akan pergi meninggalkannya? “ pertanyaan itu membuat Kara
bingung. Pria itu seperti berbicara langsung kepadanya. Dirinya yang tidak tahu
mau berbicara apa memilih diam. tatapan itu berlangsung sangat lama, kedipan
mata dapat terhitung, seakan tenggelam dalam hangatnya perasaan. Rasa nyaman
yang dirasakan Kara membuatnya tidak dapat melepaskan pandangan itu. Dan pria
itu, perlahan ia mendekatkan wajahnya kepada wanita itu, Kara tidak
menghindarinya, sadar atau tidak, wanita itu terlihat tenang, semakin dekat
jarak antara wajah keduanya, dapat kara rasakan hembusan nafasnya, sentuhan
itu, melekat lembut dibibirnya, dapat ia rasakan juga tetesan air mata yang
mengalir dari mata pria itu, ciuman itu berlangsung diiringi alunan piano yang
semakin membuat suasana menjadi tenang. Alunan musik terhenti, saatnya musik
yang lainnya memanjakan telinga pendengarnya, saat itu Nudi melepaskan
ciumannya, kembali menatap kedua mata yang ada dihadapannya. Setelah lama
menatap mata wanita itu. Ia mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu
meneteskan air mata. “ wanita itu lu.. “ ujarnya dengan tenang. Air mata
mengalir dari kedua matanya. “ gw gak pernah punya keyakinan untuk mengatakan
ini, keadaan gw membuat nyali gw menipis. “
“ sejak kapan? Sejak kapan lu
suka sama gw? “ Kara dapat merasakan kehangatan yang dipancarkan dari matanya.
“ sejak lu belum mengenal gw. Gw
akan jelaskan, tapi gak sekarang. “
“ kenapa? “
“ gw gak bisa. Gw ke kamar mandi
dulu. “ sebelum ia ke kamar mandi, ia mengambil sesuatu didalam kopernya
setelah itu menghilang dari balik pintu. Sesuatu terjatuh dari kopernya,
tergelincir mendekati Kara, wanita itu memperhatikan benda yang saat itu ada
ditangannya. Sebuah botol yang berisikan obat-obatan.
“ ini, obat ini bukannya sama
persis dengan obat milik almarhum nenek? Obat jantung berdosis tinggi? Dia
sakit? Sakit jantung? “ air mata kembali membasahi pipinya. Botol itu terlepas
dari tangannya, obat-obatan itu pun berserakan dilantai. Pria itu yang baru
saja keluar dari kamar mandi kontras mematung didepan pintu. Menatap wanita
yang sedang menangisi penyakitnya. Dengan tenang ia menghampiri wanita itu lalu
memeluknya. Mengelus kepalanya guna menenangkan wanita yang sudah lama ia
cintai.
“ sudahlah, gw gak kenapa-napa..
obat ini hanya penghilang rasa sakit.. “
“ dan berdosis tinggi? “
sambarnya. “ penyakit lu apa separah itu? “ tambahnya.
“ ... “Nudi melepaskan
pelukannya lalu menatap kedua mata yang terus-terusan mengeluarkan air mata.
Menghapus air mata itu dengan jarinya. “ ya, penyakit gw sudah parah. Dan hidup
gw sudah tidak lama lagi. Itulah kebenarannya. “ Kara yang mendengarnya menjadi
lemas, pria yang selama ini menemaninya akan pergi meninggalkannya, pria yang
sudah menyentuh hatinya tidak bisa bersamanya dalam waktu yang lama. Pria yang
dapat dengan mudah membuatnya nyaman terhadapnya, membuatnya melupakan akan
kesunyian, membuatnya mencintai pria itu tanpa kesadarannya, akan menghilang
dari hadapannya.
“ obat itu, benar-benar punya
lu? “
“ kenapa? Lu juga menyukai gw?
Benarkah itu? Kapan? Sejak kapan? “ senyuman mulai terlihat diwajahnya.
“ jangan tersenyum. “ ucapnya
sembari mengumpulkan obat-obatan yang berserakan dilantai. Sambil tertawa Nudi juga
ikutan mengumpulkan obat-obatan itu. Malam itu mereka lewatkan dengan
mendengarkan musik instrumental hingga tertidur di atas ambal tebal yang
terlentang diatas lantai.
Mont Marte. Sebuah bukit di utara Paris
dengan Gereja Basilika Sacre Coeur berdiri cantik di puncaknya. Sebelum ada
Menara Eiffel, inilah tempat warga Paris melihat pemandangan ke seantero kota. Nudi
membawa Kara ke ketempat itu untuk menikmati indahnya pemandangan disore hari
bersama warga Paris di sana. Dengan setelan kaos berwarna merah yang berlengan
panjang, ia terlihat berwarna ditambah senyumnya yang terukir indah diwajahnya.
Disampingnya, wanita itu merangkul lengannya, wanita yang memakai pakaian serba
hitam itu kini tidak berkeinginan untuk melepas rangkulannya. Disebuah kursi
panjang, mereka menghabiskan sore hari disana. Bersama puluhan wisatawan
lainnya. Mengabadikan keindahan yang ada dihadapan mereka dengan berfoto
bersama.
“ duduklah.. lu terlalu banyak
bergerak. “ Kara mengkhawatirkan keadaannya.
“ jangan begitu, gw semakin
takut ninggalin lu kalau lu menganggap gw sebagaimana orang sakit. Sisa hidup
ini, mau gw lewatkan dengan sebebas-bebasnya, tentunya bersama lu.. “ ujarnya
dan berlari menuju keramaian. Meninggalkan Kara yang memang tidak menyukai
keramaian. Duduk indah sambil memperhatikan pria yang kini mengisi hatinya.
Alunan musik yang sedari tadi membelai telinganya membuatnya tidak konsentrasi
dengan pandangannya. Pria itu menghilang. Ia khawatir bukan main, segera ia
ambil botol obat yang ada diranselnya, dengan wajahnya yang memucat ditambah
ekspresinya yang ketakutan akan ditinggal oleh orang yang ia sayangi, berlari
mencari pria itu, tak terasa lagi olehnya rasa lelah yang mulai menyeliputinya,
yang ada dipikirannya hanyalah pria itu, keadaan pria itu, Dapat terlihat air
mata kecemasan di pipinya, mengalir lembut hingga tak terputuskan.
“ gw disini.. “ suara itu, suara
yang selama ini menemani hari-harinya. Diujung tebing, seorang pria berdiri
sambil menatapnya, dengan senyuman andalannya ia memanggil Kara untuk
mendekatinya. “ sinilah, pemandangan disini sangat indah.. “ wanita itu
langsung berlari kearahnya, yang ia lakukan hanya memeluk pria itu. Baru saja
ia berpikir bahwa pria itu sudah meninggalkannya. Tapi kini, disaat ia berada
didalam pelukan pria itu, ketenangan yang luar biasa menyelimutinya. “ lu
kenapa? Kok nangis? “
“ kenapa lu menghilang begitu
saja? Gw kira.. “
“ haha.. gw belum mati.. “
jawabnya yang diiringi tawa. Tetapi sesungguhnya hatinya perih mendengar
perkataan wanita itu, jika waktu itu sudah tiba, pastinya wanita yang kini ada
didalam pelukannya pasti akan lebih sakit dari ini. “ apa seharusnya gw
meninggalkan lu lebih awal? Gw gak mau perasaan ini menyakiti lu.. “ pikirnya.
Ditepisnya air mata yang hendak mengalir, tidak akan ia perlihatkan air mata
yang akan menyakiti hati wanita itu. Ia mencari tempat untuk mereka duduk,
tidak jauh dari sana mereka menunggu malam tiba. Bersama sepinya harapan.
Angin berhembus dengan kencang. Udara
dingin menyergap mereka. Takut akan kesehatan Nudi, Kara langsung menarik pria
itu dan membawanya kembali ke hotel. Sesampai dihotel ia meninggalkan Nudi dikamar
lalu ia pergi mencari makanan dan minuman hangat. Penuh perjuangan untuknya
mendapatkan apa yang ia inginkan, hujan yang sedang turun sangat menyulitkan
perjalanannya, hingga akhirnya ia mendapatkan semuanya yang ia inginkan,
mempercepat langkahnya untuk kembali ke hotel. Tak terlihat siapapun disana.
Yang terdengar hanyalah suara isakan dari kamar mandi. Pria itu sedang menahan
sakitnya. Kara tersandar lemas didepan pintu, menatap pintu itu dengan
airmatanya yang tidak henti-hentinya mengalir.
“ apa sesakit itu? “ pikirnya.
Ia terduduk dilantai, masih terus menatap pintu tersebut, menunggu sosok yang
selama ini menjaganya keluar dari sana. Satu jam, dua jam, tiga jam, akhirnya
pria itu keluar dari sana. Kali ini merupakan waktu terlamanya menunggu pria
itu. Melihat wanita itu terduduk dihadapannya, ia langsung merangkul wanita itu
dan membawanya ke sofa.
“ lu ngapain disitu? “ katanya
cemas.
“ penyakit lu kumat lagi? “ air
matanya tak juga habis dan terus mengalir.
“ tidurlah, hari ini lu pasti
kelelahan.. “ menarik wanita itu untuk segera berbaring di kasur, namun
tangannya ditepis begitu saja.
“ yang gw tanya, apa penyakit lu
kumat lagi? “ keseriusannya membuat hati Nudi seakan teriris. Air matanya yang
terus mengalir seakan menyirami goresan hatinya dengan alkohol, sangat perih.
“ kara.. “ ucapnya lembut.
“ apa yang harus gw lakukan? Apa
yang harus gw lakukan agar rasa sakit itu menghilang dari lu! “ teriakannya
membuat Nudi tidak dapat menahan air matanya yang sedari tadi berusaha
melepaskan dirinya dari mata.
“ tetap tersenyum, hanya itu
yang harus lu lakukan untuk gw.. “
“ tersenyum? Bagaimana mungkin
gw tersenyum sedangkan lu menringis kesakitan? “
“ sudahlah.. bagaimana kalau
besok sore kita kencan? Menara Eiffel akan sangat cocok untuk dijadikan tempat
kita berkencan, dari puncak menaranya kita bisa lihat keindahan kota Paris yang
luar biasa.. “ katanya yang berusaha terlihat tegar dihadapan wanita itu.
“ ... “ wanita itu hanya
menatapnya. Berusaha untuk tersenyum sesuai keinginan pria itu, tersenyum
sambil menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia menyetujuinya. Wanita itu
pun tertidur diatas kasur dan berbalutkan selimut, sedangkan pria itu, ia duduk
dibalkon sambil melihat kembali semua foto yang telah ia dapatkan. Senyuman dan
air mata mengiringi malam itu. Malam yang tidak ingin ia lalui.
Pagi itu diiringi dengan turunnya hujan.
Iramanya yang terdengar nikmat membuat Kara terbangun dari tidurnya, wanita itu
langsung berjalan ke balkon untuk menikmati air hujan yang mampu menghiburnya.
Baru ia sadari, pria itu tak terlihat disana, ia langsung melonjak kaget dan
berlari menelusuri setiap ruangan dikamarnya. kosong. terlihat sebuah surat
terletak diatas meja. Dengan cepat ia sambar lalu membacanya.
“ jangan khawatir, gw keluar
sebentar, ada sesuatu yang harus gw lakukan, gw sudah belikan susu dan roti
untuk lu, jangan lupa dimakan. Ingat, nanti sore datanglah ke menara, gw tunggu
lu dipuncak menara, gunakan jubah merah itu, gw tahu kalau lu punya itu, lu
harus memakai itu untuk gw. Kecupan lembut dari Nudi. “ setelah membaca surat
tersebut, ia menghembuskan nafas yang panjang. Walau begitu, ia belum bisa
menenangkan dirinya. Terpisah dengan Nudi seperti itu membuatnya mencemaskan
keadaan pria itu. Berhari-hari bersama pria itu membuatnya terbiasa akan
kehadirannya. Menunggu sore tiba, ia membuka Hpnya yang sudah lama tidak ia
sentuh. Terdapat sebuah pesan, tentunya dari Rena sang sahabat. Ia mulai
membaca pesan tersebut.
“ woy, gimana liburan lu?
Sombong banget, gak ada kabarin gw sekalipun, jangan lupa oleh-oleh buat gw ya,
oh ya, lu jumpa abang gw ya? Abang gw bilang dia sedang bersama lu, selamat
bersenang-senang ya, jangan lama-lama, gw kangen banget sama lu. Sampai jumpa
miss black.. “ pesan panjang itu pun selesai ia baca.
“ abang? Kapan? Gw bahkan lupa
dengan wajah abangnya. “ memasukkan Hpnya kedalam ranselnya. Kembali duduk
dibalkon sambil mendengarkan musik kesukaannya. Piano instrumental.
Seorang wanita berjubah merah berdiri
dengan anggun disana. Dari ketinggian 325 meter ia dapat menyaksikan keindahan
Kota Paris yang luar biasa indahnya. Senyumnya terbentuk indah. Keinginannya
untuk dapat melihat Kota Paris dari puncak menara pun terlaksanakan. Tapi, pria
itu tidak kunjung datang. Hampir satu jam ia disana.
“ kemana dia, lama banget, apa
sih yang sedang dia lakukan? “ pikirnya. Lelah berdiri terus, ia memilih duduk
disalah satu kursi yang terdapat disana. Satu jam, dua jam, tiga jam, bahkan
empat jam berlalu begitu saja. Nudi tidak juga terlihat. Kecemasan pun timbul
dengan cepat, langit mulai gelap yang berarti hari sudah malam, ia langsung
berlari menuju hotel. Berharap dapat menemukan pria itu disana. Menepis semua
pikirannya, dengan penuh keyakinan ia melangkahkan kakinya hingga tak terasa
lagi dinginnya air hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. Kosong. Air
matanya mengalir begitu saja, tak terlihat sosok itu disana. “ lu dimana? “ ucapnya diiringi rintihan
kesedihan. “ jangan bilang kalau lu
sudah pergi.. “ terduduk lemas dilantai yang kini terasa amat dingin baginya.
Dilihatnya sebuah amplop diatas meja. Dengan tubuhnya yang lemah ia meraih
amplop tersebut dan kembali terduduk dilantai. Membuka amplop tersebut dan
melihat isinya. Puluhan foto ada ditangannya. Melihat satu-persatu foto itu,
setiap lembarnya terdapat sebuah kalimat dibaliknya, air mata terus mengalir,
firasat itu semakin kuat, hingga ia dapatkan foto terakhir, dimana seorang
wanita yang memakai jubah berwarna merah sedang berdiri seorang diri dibawah
Menara Eiffel. Menatap menara itu dengan penuh pertanyaan. Foto itu di ambil
dari belakangnya, itu artinya, tadi, sebelum ia menaiki puncak menara, pria itu
ada disana, mengambil gambarnya. Ia langsung dengan cepat membalik foto
tersebut dan membaca kalimatnya yang terdapat dibalik foto yang berukuran besar
itu.
“ ini foto terakhir yang gw ambil,
lu terlihat cantik dengan warna merah, lu pantas menggunakannya, makasih udah
mau menggunakannya untuk gw, walaupun gw gak bisa melihatnya dari jarak dekat,
karena sekarang adalah saatnya, dimana gw harus pergi meninggalkan lu, maaf..
bakarlah foto-foto ini, jika itu menyakitkan untuk lu, jangan jadikan kepergian
gw menjadi penghalang masa depan lu, lu harus raih masa depan yang cerah itu,
lu harus perlihatkan ke gw, kalau lu adalah wanita yang kuat. Lu beruntung
mempunyai keluarga yang sayang sama lu, sahabat yang baik sama lu, oh iya,
titip salam gw sama Rena, ucapkan kata maaf dari gw untuknya, maaf karena gw
gak bisa berkata jujur kepadanya, Kara.. lu selalu di hati gw, love you.. “
foto itu berserakan dilantai, tangannya bahkan tidak kuat untuk mengangkat
selembar foto pun, kenyataan ini sangat memukulnya, pria yang baru saja ia
cintai meninggalkannya untuk selamanya. Hilang sudah masa-masa dimana ia
tersenyum karenanya, tak akan terlihat lagi senyuman pria itu, dan juga,
genggaman hangatnya yang tidak pernah luput dari setiap perjalanan mereka, pria
itu selalu menggenggam tangannya seakan tidak mau kehilangannya sedetik pun. Wanita
itu terbaring lemah di atas ambal yang tebal, ambal yang pernah menjadi saksi terjadinya
ciuman lembut antara dirinya dan Maru. Kenangan itu menghilang seiring redanya
hujan. Tertidur diheningnya malam, seorang diri.
Pagi ini terasa hampa. Ia telusuri seluruh
ruangan, masih mengharapkan akan kehadiran pria itu. Sayangnya sosok itu tidak
juga terlihat. Dilihatnya foto-foto yang berserakan dilantai, ia langsung mengumpulkan
satu-persatu foto itu. Foto terakhir yang berada ditangannya, foto yang
berukuran paling besar dari foto yang lainnya, ia membaca kembali kalimat yang
ada dibelakangnya. Baru ia sadari, pria itu menuliskan nama Rena.
“ Rena? Dia kenal dengan Rena?
Astaga! Apa mungkin dia.. “ dengan cepat ia mengambil Hpnya dan melihat semua
foto yang ada disana, dia ingat sekali, Rena pernah mengirim fotonya disaat bersama
abangnya. Sekarang sudah jelas. Ternyata pria itu adalah abangnya Rena. Saudara
sahabatnya. Menggenggam telepon genggamnya dengan erat. Menyesalkan ingatannya
yang begitu lambat. “ pantas aja gw berasa pernah lihat dia, ternyata.. “
tiba-tiba saja ia terdiam. Terlintas sesuatu dibenaknya. Tidak lama dari itu,
ia langsung bergegas menyiapkan semua barangnya dan kembali ke Jakarta. Di
bandara Charles de Gaulle ia seperti melihat sesosok wanita yang sangat ia
kenal, wanita itu begitu mirip dengan ibunya Rena, tetapi ia tidak berkeinginan
untuk menegurnya, pikirannya terlalu lambat untuk berpikir kesana.
Rumah yang bercatkan merah hati disetiap
sudutnya, menjulang tinggi, serupa dengan rumahnya. Perbedaannya adalah
warnanya. Warna itu merupakan warna yang sangat disukai Nudi. Perlahan ia masuk
kedalam rumah itu, meninggalkan kopernya didepan rumah. Dengan mudah ia masuk
kedalam rumah itu. Dilihatnya sebuah foto terpampang indah di dinding rumah
tersebut. Sebuah keluarga yang terlihat sangat berbahagia. Tapi, tidak jauh
dari sana, ia melihat seorang wanita sedang menangis dengan terisak.
“ Rena.. “ panggilnya lemah.
Mendekati sahabatnya itu. “ lu kenapa? “ memeluk sahabatnya dengan lembut.
“ abang gw, dia sudah tiada..
dia meninggalkan gw dan keluarga, selamanya.. “ isakan tangisnya mengiris
telinganya. Tetapi, kata tiadalah yang sangat teramat menyakitinya. Tubuhnya
seakan membeku, tak terlihat lagi air mata disana, otaknya seakan tak berfungsi
lagi. Rena yang melihat keadaannya semakin sedih dan menangis dengan kuat. Air
matanya sudah membasahi pakaian wanita itu. “ tadi malam, mama gw dapat berita
dari pihak rumah sakit di Paris, mereka mengabarkan berita ini, karena itu mama
dan papa langsung kesana malam itu juga. Tinggal gw disini, gw senang banget lu
dah pulang.. “ jelasnya.
“ antarkan gw kekamarnya.. “
“ ya? “ Rena terdiam menunggu
penjelasan.
“ tolong, antarkan gw
kekamarnya. “
Sebuah kamar berwarna merah Terlihat sepi
tanpa penghuni. Semua barang disana tertata rapi, seakan sudah tidak tersentuh
dalam waktu yang lama.
“Nudi jarang tidur dikamarnya,
dia sering tidur dikamar gw.. “ kata Rena. Tapi tidak dihiraukan dengan Kara.
Wanita itu malah mendekati komputer yang terdapat disana, komputer yang masih
menyala itu memperlihatkan gambar seorang wanita yang pastinya sangat ia
ketahui. “ loh, itu kan lu.. “ Rena kaget melihat foto sahabatnya ada didalam
komputer tersebut. Kara terus memeriksa setiap gambar yang ada disana.
Tangannya berhenti bergerak. Terjawab sudah semua perkataan-perkataan Nudi selama
ini. Semua foto yang ada disana merupakan fotonya disaat ia masih duduk di
bangku sekolah menengah atas. Ada juga fotonya yang sedang menyiram bunga,
fotonya disaat ia sedang merenung dibalkon kamarnya, fotonya yang bersama Rena.
Tepatnya seluruh foto yang berada disana adalah dirinya.
“ dia sudah kenal gw selama itu?
“ pikirnya.
“ Kara, gw sama sekali gak
ngerti dengan semua ini. Tolong jelaskan sama gw.. “ ia bangkit dan menatap
sahabatnya yang sedang berdiri kaku dihadapannya. Dengan perlahan ia
menceritakan semua kejadian yang ia alamai bersama Nudi disana. Tanpa air mata
dan juga kesedihan. Jawaban yang baru saja ia dapatkan membuatnya tegar dan
menerima semua kenyataan hidupnya. Setelah ia selesai mengatakan semua, ia
keluar dari rumah itu, menarik kopernya dan memakai ranselnya, masuk kedalam
rumahnya. Orangtuanya dan adiknya yang melihat tingkah lakunya tidak berani
untuk menegurnya. Aura wajahnya terlihat bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.
Mereka hanya membiarkannya begitu saja.
Balkon kamarnya menjadi tempat dimana ia
sering menghabiskan waktu disana. Mendengarkan musik, menulis sesuatu yang
tidak jelas, merenungkan sesuatu. Keadaan yang sunyi itu membuatnya semakin
nyaman. Tiba-tiba saja ia berhenti menulis, ia merasakan sepasang mata sedang
menatapnya, tentunya dari balkon yang ada diseberang rumahnya. Jantungnya
berdetak kencang, kenangan itu kembali, rasa takut menyelimutinya, harapan itu
timbul kembali, harapan bahwa pria itu berdiri disana, menatapnya, tersenyum
kepadanya, memotretnya. Dengan berani ia lemparkan pandangannya kesana, kearah
balkon kamarnya Rena.
“ woy! Lu sedang apa? Mau sampai
kapan lu begitu terus, miss black? Haha.. “ Rena menertawainya. Tawanya
menyadarkannya, kenangan itu sudah menjadi kenangan. Tidak perlu disesali,
paling tidak ia sudah pernah merasakan bahagianya dicintai.
“ apa lu tau? Ada sesuatu yang
bahkan sampai sekarang belum pernah gw katakan dengan lu.. gw.. mencintai lu..
“ ucapnya pelan. Tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Rena yang
terus-terusan meneriakinya. Kehidupannya belum berakhir, seperti yang dikatakan
Nudi, ia harus meraih masa depan yang cerah, ia harus menunjukkan kepada pria
itu bahwa ia merupakan wanita yang kuat. Seperti yang sering dikatakan oleh
sahabatnya. Miss Black. Pertemuan singkat itu akan selalu ia kenang.
0 komentar:
Post a Comment