Saturday, July 27, 2013

Short Story (Short Time)





Short time
     Hitam adalah warna yang melambangkan kemakmuran, Percaya diri, Maskulin, dan Dramatis. Penyuka warna hitam biasanya memiliki banyak rahasia dan lebih cenderung pendiam. Jika mereka berada ditempat yang tidak mereka sukai, Biasanya mereka akan menjadi murung. Dalam pergaulan mereka tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain, Hanya melakukan sesuatu yang dianggap mereka nyaman, Tetapi walau begitu biasanya mereka mudah diajak berteman dan mampu memberikan solusi ampuh kepada temannya. Seperti itulah karakter Kara. 



    Wanita penggila warna hitam itu sungguh berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya. Seakan menikmati kesendiriannya yang terlihat begitu membosankan namun sangat mengasikkan baginya, Selagi tidak ada yang mengganggu kesendiriannya, Ia akan tetap merasa nyaman.
“ Kara! “ Seseorang meneriaki namanya. Merasa terganggu, ia pun menjauh dari sana. Mencari jaket tebal berwarna hitam tidaklah mudah, Terutama untuk wanita, Sesuai tren pada tahun itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita berubah menjadi serba cerah, warna-warni, tanpa warna hitam. Kara sudah menyinggahi banyak butik dan sampai sekarang ia belum juga mendapatkan jaket hitamnya. Jadwalnya ke Paris tidak lama lagi dan sampai sekarang ia belum juga mendapatkan jaket hitamnya.
“ mbak, kenapa dari tadi saya gak ada lihat warna hitam? “ tanya Kara kepada salah satu karyawan butik tersebut.
“ sesuai tren tahun ini, kami hanya menyediakan pakaian dengan warna yang cerah saja, tidak hanya butik kami, hampir semua butik menggunakan warna yang cerah. “ ujar karyawan butik itu sambil menunjukkan beberapa pakaian dengan warna yang sangat dibenci Kara.
“ sudah-sudah, letakkan kembali pakaian itu. “ katanya dan hendak keluar dari sana. Jubah berwarna merah. Terpampang indah disana. Warnanya yang terlampau norak tentu saja tidak akan menarik perhatiannya, tetapi wanita itu terlihat serius memperhatikan setiap lekukan pada jubah tersebut.
“ jubah ini koleksi terbaru kami, kalau anda mau mencobanya, saya akan ambilkan untuk anda. “ karyawan itu menatapnya seakan menunggu perintah darinya.
“ gak ada warna hitam? “ ucapnya yang ternyata masih mengharapkan warna hitam.
“ maaf sekali, tidak ada.. tapi, apa anda tidak tertarik dengan jubah ini? Kami baru saja mengeluarkannya, bisa jadi beberapa menit kemudian jubah ini akan menjadi milik orang lain. “ jawabnya lembut.
“ udah ambil saja, paling jubah ini jadi makhluk asing dilemari baju lu.. “ sahabat tercintanya berhasil mendapatkan dirinya, setelah diacuhkan olehnya, ia bersusah payah mencarinya.
“ lu gak ngikutin gw kan? “ ujarnya yang terlihat malas.
“ is.. gw lagi temani abang gw! Kebetulan lihat lu.. “
“ oh. Dia sudah balik? “
“ hem.. tapi mau pergi lagi. Udah ambil aja tu jubah, kalau lu pakai jubah hitam disana, ntar lu kelihatan seperti sedang berkabung.. lu gak mikir itu apa? Si merah ini bagus kali.. kalau aja ni untuk cowok, pasti udah direbut abang gw. “ ia tidak menyadari kepergian Kara. Si penggila hitam itu malah asik menelusuri rak lainnya dan membiarkan Rena berbicara seorang diri sendiri.
“ Rena.. lu terlalu berisik.. “ pikirnya sambil terus mencari jaket hitamnya.

     Makan malam bersama keluarganya selalu ia hindari, ia lebih memilih menyantap makanannya di balkon kamarnya, tetapi disaat terlihat seseorang dari kejauhan, barulah ia kembali masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu balkonnya dengan rapat. Pada malam hari Rena sering sekali meneriaki namanya, letak rumah Rena yang tepat berada didepan rumahnya membuat Rena dapat dengan mudah untuk mengganggu sahabatnya yang gemar menyendiri itu. Tapi pada malam itu, sosok yang terlihat disana bukanlah sahabatnya. Pria tampan berbaju merah. Pria itu berhasil membuat Kara terus-terusan memperhatikannya. Pria itu berpegangan pada pagar di balkon kamarnya Rena, memandang langit dan sesekali menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Menikmati setiap detik yang ada. Hujan turun diikuti dengan hembusan angin. Kara buru-buru masuk kedalam kamar guna menghindari tempiasan air hujan, dari dalam kamar ia mengintip keluar, menepikan gorden jendelanya, dapat terlihat senyuman pria itu, ia membiarkan tubuhnya terkena air hujan, melentangkan kedua tangannya untuk dapat merasakan hempasan angin yang membelai tubuhnya.
“ itu siapa ya? Apa mungkin abangnya Rena? Kok gak mirip seperti difoto? “ pikirnya.
“ lu ngapain kak? “ Zelo sang adik menyadarkannya. Tidak ingin ketahuan sedang mengintip, ia mendorong adik laki-lakinya keluar dari kamarnya dan tidak lupa untuk menutup pintunya. “ kak, mama menyuruh gw untuk mengingatkan lu, lu udah packing gak? Jangan sampai ada yang tertinggal! “ teriak Zelo dari luar. Mendengar perkataan adiknya, ia baru menyadari, ia belum menyiapkan apapun. Tak butuh waktu lama, dengan cepat sebuah koper yang tentunya berwarna hitam sudah terisikan banyak pakaian yang juga berwarna hitam, tetapi, ada satu pakaian yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Jubah berwarna merah. Ternyata ia jadi membeli jubah itu.
     Menyiram tanaman dipagi hari adalah hal yang membosankan, ia terpaksa melakukan itu dikarenakan paksaan dari ibunya.
“ Kara, yang semangat dong, bukannya besok kamu sudah berangkat, mana senyumannya? “ ibunya sangat senang mengganggu putrinya itu, melihat putrinya yang jarang tersenyum bahkan mungkin hampir tidak pernah tersenyum membuatnya semakin giat mengganggunya.
“ tinggalkan aku sendiri ma.. “ keluhnya yang lelah diganggu terus-menerus dengan ibunya. Ibunya pun meninggalkannya diiringi tawanya yang renyah. Ia kembali serius menyiram tanaman. “ lihat gak ya? “ batinnya berkata bahwa ada seseorang sedang memperhatikannya dari balkon kamarnya Rena. Keinginannya untuk melihat terlalu besar, namun gengsinya lebih besar dari pada itu. Ia pun mengulur keinginannya dan memilih masuk kedalam rumah.
“ Kara, kesini sebentar.. “ perintah Ayahnya.
“ ada apa? “ ia sudah duduk disamping Ayahnya dengan menyilangkan kedua kakinya.
“ benarkan kakimu itu Kara.. “
“ ia.. ada apa sih pa? “ katanya yang sudah membenarkan posisi kakinya.
“ kamu yakin mau berlibur sendiri? “
“ gak lama kok pa, tenang saja.. “
“ kak, jangan lupa tuh, belikan gw parfum! “
“ gak janji. “ ia sudah melenggang kekamarnya. Mengamati barang bawaannya untuk esok hari. Tidak terlalu banyak, hanya koper kecil dan sebuah ransel. Beberapa buku bahasa perancis dan juga sebuah peta. “ sepertinya sudah lengkap. “ ia mengambil sebuah buku lalu duduk di balkon kamarnya. Membaca buku selalu ia lakukan, ia bahkan lebih memilih membaca dari pada harus menonton film apapun itu. Atau mungkin mendengarkan musik dari pada menonton konser secara langsung, segala sesuatu yang berbau kesunyian pasti akan menjadi pilihannya.
     Menghabiskan malam dibalkon kamarnya, mendengarkan musik sambil menuliskan sesuatu, hanya coretan biasa. Besoknya ia akan memulai perjalanannya, berlibur seorang diri di Kota yang memiliki sebuah simbol yaitu Menara Eiffel. Memikirkannya saja sudah membuatnya merinding, tidak bisa ia bayangkan seberapa cantik kota itu. Mengingat ia harus berangkat dipagi hari, ia pun memutuskan untuk segera tidur. Disaat ia hendak masuk kedalam kamarnya, Langkahnya terhenti.
“ kali ini gw harus lihat! “ batinnya kembali mengatakan bahwa ada sepasang mata sedang memperhatikannya, tentunya dari balkon kamarnya Rena yang terdapat tepat dihadapan balkon kamarnya. Tetapi berat untuknya membalikkan tubuhnya. “ ah.. sial! Kalau memang benar ada orang disana, gw harus ngapain coba? Acuhkan saja deh. “ ia segera masuk dan menutup pintunya. Jendelanya yang tidak tertutup rapat dapat memperlihatkan kepadanya seseorang yang berada disana, seorang pria yang kemarin sempat menarik perhatiannya, dan kini pria itulah yang memperhatikannya, pria itu bahkan dapat mengetahui keberadaanya dibalik jendela. Tidak banyak yang pria itu lakukan, hanya tersenyum lalu menghilang dari sana. “ hah? Apa gw kelihatan dari sana? Tajam banget penglihatan tuh cowok. “ kalimat itu merupakan kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum dirinya tertidur pulas dan terbangun dipagi hari untuk segera berangkat ke bandara Soekarno-Hatta dan memulai perjalanannya ke paris.
     Bandara Charles de Gaulle. Bandara yang terletak dipinggir kota Paris ini menjadi pintu masuk udara dari berbagai pesawat di seluruh dunia. Tidak sempat untuknya mengagumi kemegahan bandara tersebut, ia sudah bersiap-siap untuk membeli tiket kereta dari bandara menuju Paris.  Memasukkan 8 Euro kedalam mesin e-Ticket berwarna hijau dan tidak lama dari itu tiket kereta menuju Paris pun sudah ditangannya. Setelah naik turun kereta sebanyak 2 kali, akhirnya ia dapat melihat keindahan Menara Eiffel. Berdiri megah dihadapannya. Setelah duduk sejenak ditaman yang terletak tidak jauh dari sana, ia mulai mencari hotel untuk tempatnya beristirahat. Londres Eiffel menjadi pilihannya, posisinya tidak terlalu jauh dari Menara Eiffel sehingga ia dapat dengan mudah untuk bermain kesana. Hari ini ia lewati dengan beristirahat. perjalanan yang melelahkan, menurutnya.
     Terbangun ditengah malam. Bersusah payah ia menutup mata, rasa kantuk tidak juga melanda. Dibukanya kain gorden yang ada disamping kasurnya. Terlihat beribu lampu disana, kontras membuat matanya membesar dan keinginannya untuk kembali tidur pun menghilang. Dengan cepat ia meraih jaket hitamnya lalu melenggang keluar hotel.
“ wah.. luar biasa.. “ ujarnya setelah terkagumkan dengan keindahan kota tersebut. Dimalam hari Paris akan terlihat lebih indah dikarenakan lampu-lampunya yang menghiasi setiap sudutnya. Ia langkahkan kaki sesuka hatinya, tak terpikirkan lagi olehnya bahaya yang akan melanda, tersesat atau tidak ia bahkan tidak menyadari itu. “ duh, gw dimana nih? Mereka kenapa liatin gw terus? “ setelah menyadari banyaknya pria berkulit hitam yang sedang mengamatinya, disaat itu juga ia baru menyadari bahwa dirinya telah tersesat. Tanpa peta dan juga dompet. “ habis nih gw, ayo lari.. lari.. “ mencoba berlari, tetapi kakinya sudah keburu lemas untuk itu, yang terlihat hanya langkahnya yang seperti diseret olehnya.
“ hey you! “ teriak pria berkulit hitam itu, tidak berani menoleh, kali ini ia benar-benar berlari. Mencari tempat keramaian untuk dapat menyelamatkan dirinya.
“ huh, syukur.. “ terduduk disebuah kursi yang terdapat dipinggir jalan. Kembali mengamati keadaan di sekelilingnya. “ duh.. ini dimana lagi? “ masih pada tempat yang tidak ia ketahui. Wajahnya terlihat menyedihkan. Berbeda dengan seorang pria yang sedang duduk disampingnya. Pria itu tersenyum menatap langit yang pada saat itu terlihat sepi tanpa bintang. Sempat terpikirkan olehnya tentang kejiwaan pria tersebut, tetapi setelah pria itu memandangnya. “ cakep banget. “ batinnya.
“ kenapa lu liat gw? “ ujar pria itu menggunakan bahasa indonesia, kontras membuatnya bahagia bukan main.
“ hah? Lu bisa bahasa indonesia? “ tanyanya histeris.
“ ... “ pria itu hanya diam sambil terus memandangnya.
“ sakit jiwa kayaknya. “ ucapnya pelan lalu beranjak dari sana.
“ kesasar? “ kata pria itu yang sudah bangkit dari duduknya dan sepertinya hendak pergi dari sana.
“ ya? Ah.. iya.. “ ucapnya sedikit malu.
“ mau sekalian sama gw? Sepertinya kita tinggal di hotel yang sama. “ katanya sambil memperhatikan card yang terlihat dari saku celana wanita itu.
“ oh ya? “
“ ini, sama bukan? “ pria itu memperlihatkan cardnya yang ternyata serupa dengan miliknya. Kara mengikuti kemana pun pria itu berjalan. Ia terlihat berhati-hati, berbeda dengan pria yang ada disampingnya, pria itu dengan santai melangkahkan kakinya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, sambil tersenyum matanya menelusuri setiap sudut di kota tersebut. Tak lupa pula ia mengambil beberapa gambar menggunakan kameranya. Keindahan Paris pada malam hari patut di abadikan.
“ eh tunggu! Sembunyi, sembunyi, ayo sembunyi! “ ia menarik pria itu untuk segera menyelamatkan diri mereka, tidak jauh dari mereka terlihat kumpulan pria berkulit hitam yang tadinya mengejarnya.
“ kenapa sih? “ pria itu tidak mau beranjak dari sana.
“ itu preman.. kita lari aja deh.. “
“ gak perlu, kasih aja uang lu.. ntar juga baik merekanya.. “
“ ih, gak yakin gw, lagian gw gak bawa dompet.. “ masih terus berusaha menarik pria itu untuk menjauh dari sana. “ oh my god! “ tepat berada dihadapannya, Lima orang pria berkulit hitam berdiri dengan gagah. Menatap mereka berdua dengan seramnya. Berbicara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti Kara, tetapi dimengerti oleh pria yang ada disampingnya. Pria itu terlihat memberikan dompetnya kepada preman tersebut, tidak lama dari itu preman tersebut sudah menghilang dari hadapan mereka. “ lu masih bisa tersenyum? Dompet lu, kenapa lu kasih ke mereka? “ menatap heran pria itu. Ia kembali melangkahkan kakinya sambil menjawab pertanyaannya.
“ kan ada lu.. “ katanya dengan santai.
“ gw? Kenapa dengan gw? “
“ ya lu yang ganti semua isi dompet gw, preman itu kan ngejar lu, bukan gw. “
“ hah! Kenapa begitu? Lagian dari mana lu tahu kalau tu preman ngejar gw? “
“ kami sudah mengobrol, bukannya lu dengar sendiri? Oh.. lu gak bisa bahasa perancis? Haha.. Gw lapar, belikan gw makanan. “ pria itu mendekati penjual Hotdog, ia langsung memesan dua porsi hotdog, sambil menunggu ia mengobrol dengan si penjual hotdog tersebut.
“ semoga ini hanya mimpi. Hah, dengan mudahnya dia kasih dompetnya, dan dengan mudahnya juga dia minta gw mengganti semua isi dompetnya, apa dia sudah gila? Memangnya.. “ sebuah hotdog menempel dimulutnya, pria itu menghentikan omelannya dengan cara menempelkan hotdog tersebut ke mulutnya. Nyatanya itu berhasil. Setelah ia memberikan 6 Euro kepada si penjual hotdog, dengan langkah cepat ia mengejar pria itu yang sudah mendahuluinya.
“ apa! “ Kara kaget setelah mendengar perkataan pria itu.
“ gak perlu segitunya, ini sudah menjadi tanggung jawab lu. Pokoknya sampai liburan gw selesai, lu yang ngurus semua biaya gw, termasuk kamar hotel. “ katanya sambil menarik kopernya masuk kedalam kamarnya.
“ ya tapi kenapa harus dikamar gw? Memangnya kenapa dengan kamar lu? “
“ gw mau bayar pakai apa? Segala sesuatunya yang berbau uang ada didompet gw. “ ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
“ ya tapi kan.. “
“ kecuali lu mau sewakan gw kamar yang baru.. “
“ gila aja, satu kamar aja udah mahal banget. “
“ ok kalau begitu. Tuh sofa, lu tidur disana, gw disini. “ ia menarik selimut lalu tertidur. Sedangkan Kara, wanita itu terlihat terpukul akan peristiwa yang baru saja terjadi, hanya dalam beberapa menit masalah itu telah merenggut semua ketenangannya. Dan sekarang, ia terpaksa berbagi kamar dengan pria yang bahkan belum ia kenal. Tidak sempat memarahinya, pria itu sudah tertidur dengan pulas. Akhirnya ia memaksakan dirinya untuk tidur disebuah sofa.
“ syukur sofanya gak terlalu buruk. “ Hening.

     Keributan terjadi seiring terbitnya matahari. Kara yang sudah tidak dapat menahan desakan pada perutnya terus-menerus meneriaki Pria itu yang sedari tadi tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Sudah satu jam pria itu disana, ia tetap tidak menghiraukan teriakan Kara.
“ mau sampai berapa jam lu didalam? Perut gw mules banget nih. “ ujarnya. Nada bicaranya terdengar pelan, desakan pada perutnya telah merenggut semua kekuatannya. Keringat mulai terlihat, membasahi keningnya yang putih bersih. Menyandarkan tubuhnya ke lemari yang terletak didepan pintu kamar mandi, sambil terus memegang perutnya yang semakin terasa perih.
“ huh.. sorry! Lama ya? “ ia keluar dengan senyumnya yang menawan.
“ banget. “ katanya yang sudah masuk kedalam kamar mandi. Pria itu tertawa dengan keras, wajah Kara begitu lucu, ia bahkan sampai berkeringat.
“ lucu banget tuh anak. Sepertinya dia gak ingat sama gw, hem.. baguslah. “ Sembari menunggu Kara, pria itu kembali memainkan kameranya, mengambil beberapa gambar yang menurutnya penting. Senyuman dibibirnya menunjukkan akan kepuasannya terhadap gambar yang ia ambil. “ sudah selesai? “ katanya ketika melihat Kara keluar dari kamar mandi.
“ hem.. “ jawab wanita itu singkat.
“ hari ini kita kemana? “ katanya yang masih asik mengambil gambar.
“ kita? “
“ iya dong, gimana kalau kita ke Arc De Triomphe?pria itu terlihat bersemangat.
“ lu beneran kagak ada uang sama sekali? “
“ Nudi.. itu nama gw.. “
“ huh, gw bukan tanya nama lu.. “ mengambil ranselnya dan memasukkan beberapa barang yang dianggapnya penting untuk dibawa.
“ wah.. sepertinya cuaca hari ini mendukung banget, ayo buruan, gw udah gak sabar pengen foto-foto disana, gerbang kemenangan.. “ ia sudah siap dengan kamera yang selalu tergantung dilehernya. Hanya itu.
“ jadi Cuma kamera itu yang tersisa? “ tanya Kara sambil memakai sepatunya. Pria itu hanya tertawa, menatap dirinya dicermin, cukup lama. Setelah itu ia berlari mengikuti Kara yang sudah keluar dari kamar.

     Saat ini mereka sedang berada di dalam kereta bawah tanah Metropolitan, yang biasanya disebut Metro. Metro Paris adalah sistem kereta paling rumit tapi paling lengkap. Jalurnya begitu komprehensif sehingga kereta Metro menjadi andalan wisatawan untuk pergi kemanapun di Paris. Karena banyaknya pengguna Metro, mendapatkan tempat duduk pun sangat sulit, Kara dan Nudi yang tidak kedapatan tempat duduk pun memilih berdiri.
“ lu jangan disitu, sini dekat gw.. “ perintah Nudi ketika melihat banyaknya pria yang ada disamping Kara.
“ kenapa? “ tanyanya yang tidak mengetahui keadaan disekitarnya.
“ sini.. “ katanya sembari menarik tangan wanita itu. Kini Kara tepat berada dihadapannya, hatinya sedikit tenang setelah sedari tadi resah melihat ulah pria-pria yang berada disamping Kara.
“ lu apaan sih? “ ujarnya yang tidak begitu nyaman dengan perlakuan Nudi.
“ begini lebih baik.. “ ia tersenyum, melihat banyaknya orang yang sedang memperhatikan mereka membuatnya semakin berani dalam bertindak. Setibanya mereka, tidak ingin berlama-lama, Nudi langsung menarik tangan Kara dan membawa wanita itu keluar dari Metro yang sangat menyesakkan. Tangan kanannya terus menggenggam tangan wanita itu sedangkan tangan kirinya sibuk mengotak-atik kameranya.
“ lepasin dulu tangan gw, lu gak bakal bisa pakai kamera itu dengan satu tangan.. “
“ bisa kok.. “ masih menggenggam tangan itu dengan erat. “ Bakalan rame pengunjung, lu mau kesasar? “ tersenyum kembali. Berjalan mendekati tempat yang mereka tuju. Tibalah mereka disana, pagi hari keadaan disana tidak begitu ramai, hanya terlihat beberapa mobil yang melintas di sekitar bangunanan tersebut. Nudi sudah siap dengan kameranya, ia meminta Kara untuk menempati posisi yang ia pinta.
“ ah, malas gw. Lu foto aja turis-turis itu. “ wanita itu memilih duduk diatas pagar pembatas yang terletak dipinggir jalan.
“ dasar lu, mau liburan atau malas-malasan sih. “ walau kesal ia tetap tersenyum. Seperti yang akhir-akhir ini sering ia lakukan, Diam-diam ia memotret wanita itu. Setelah puas dengan gambar yang ia dapatkan, ia menghampiri Kara yang sedang duduk sambil melihat peta. “ peta? Untuk apa? “
“ ya untuk digunakan lah.. “ katanya yang masih serius melihat petanya.
“ gak perlu, gw sudah cukup tahu.. “ ia mengambil peta yang ada tangan kara lalu memasukkan kembali kedalam ransel yang dipakai wanita itu. “ ini namanya Arc De Triomphe, Ini adalah monumen yang dibangun Napoleon tahun 1806, dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte untuk memperingati kemenangan perangnya. Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa tentara kebesarannya, nama-nama mereka diukir di gerbang Arc De Triomphe ini. Makanya jangan duduk doang, lu dekatin dong, mana tahu kelihat tuh nama-nama tentara, haha.. “
“ gak deh, dari sini saja tu bangunan sudah terlihat cukup besar. “
“ yasudah, gw kesana dulu. “ Pria itu sudah menghilang tertutupi wisatawan lainnya, dan wanita itu, kini ia merasakan kenyamanan yang selama ini ia rindukan, kehadiran Nudi telah merenggut masa sendirinya, kali ini ia memanfaatkan waktu untuk menyendiri. Berjalan menjauhi Monumen itu, tidak tahu kemana arah langkahnya, yang ia inginkan hanya ketenangan jiwanya. Tidak jauh dari Monumen tersebut ia menenangkan jiwanya.
     Ditengah jalan simpang 12 yang sangat ramai, terdapat pohon besar yang mampu melindungi puluhan orang dibawahnya, tetapi kini yang terlihat hanya seorang wanita, besandar dipohon itu sambil mendengarkan sebuah lagu. Menutup kedua matanya, tersenyum akan kenikmatan musik yang ia dengarkan, udara Kota Paris yang sejuk semakin membuat dirinya nyaman. Sayangnya kenyamanan itu menghilang begitu saja, tepat didepan matanya, seorang anak perempuan tertabrak mobil dan terpental tidak jauh dari tempatnya berada.  Hal itu kontras membuatnya bangkit dari duduknya dan segera mendekati anak malang itu. Tak bernafas. Tabrakan keras itu telah merenggut nyawanya, tidak lama dari itu mobil ambulan membawa jenazah tersebut, keramaian yang tadinya terlihat kini menghilang siring kepergian mobil ambulan tersebut. Kara yang pertama kalinya melihat peristiwa seperti itu terlihat biasa saja. Ia malah kembali berjalan menuju pohon yang tadinya ia tempati.
“ dia, dia kenapa? “ pikirnya. Tidak jauh darinya, Nudi berdiri terpaku sambil menatap tajam kepergian ambulan itu, wajahnya terlihat kaku dan matanya memerah, ia menggenggam sebotol minuman yang kini sudah rusak akibat kekuatan genggamannya. Kara merasakan perubahan pada diri pria itu, Pria itu terlihat lemah, dapat terlihat getaran pada kakinya. Ia terlihat tak mampu untuk berdiri lebih lama, Kara yang semakin khawatir padanya pun langsung mendekatinya. “ lu kenapa? Lu baik-baik saja kan? “
“ ... “ pandangannya melemah, tubuhnya juga tak bergetar lagi, botol minuman yang tadinya berada digenggamannya kini terjatuh ke aspal. Perlahan ia memutar kepalanya lalu menatap wanita yang ada disampingnya.
“ enggak, gw gak kenapa-napa. “ jawabnya yang sedikit dipaksakan. “ selanjutnya kita mau kemana? Gimana kalau kita ke Musee de Louvre, kita bisa lihat lukisan Monalisa disana.. “ nada bicaranya kembali bersemangat, senyumannya merekah seakan ingin menunjukkan kepada Kara bahwa dirinya baik-baik saja. Namun kepribadian Kara yang tenang dapat dengan mudah menyadari getaran pada kedua tangannya. Nudi masih menggenggam kedua tangannya guna menghilangkan rasa gugup yang tidak jelas penyebabnya.
“ kita pulang saja. “ ujar wanita itu sembari berjalan. Ia tidak mau mengambil resiko dengan memaksakan keadaan pria yang sedang mengejarnya itu.
“ kok pulang sih, belum juga setengah hari, lagian gw kan mau naik ke puncak monumen itu.. sayang banget kalau dilewatkan.. “
“ pulang! “ teriakannya memacu kecepatan langkahnya. Nudi hanya bisa mengikutinya sambil tersenyum. Disaat wanita itu menghentikan langkahnya, senyumannya semakin melebar, seakan mengetahui apa yang akan Kara katakan kepadanya.
“ kanan atau kiri? “ dengan menutupi rasa malu ia bertanya.
“ ahahha.. kirain lu udah tahu.. sini ikut gw. “ kebiasaanya disaat berjalan, ia kembali menggenggam tangan wanita itu, melewati setiap perjalanan sambil terus menggenggam tangan itu. Tak terlihat lagi perasaan tak nyaman diwajah Kara. Pria itu dapat dengan mudah membuat wanita itu nyaman terhadapnya.
     Duduk disamping jendela yang dapat mempertontonkan keindahan Kota Paris membuat Nudi tidak sabar untuk langsung mendekati setiap keindahan itu. Berbeda dengan Kara yang sedang santai mendengarkan musik dibalkon, tepatnya berada dihadapannya dan berbataskan kaca nan besar itu.
“ keluar yuk.. bosan banget nih.. “ sambil terus mengetuk kaca yang ada dihadapannya, berusaha untuk mengganggu wanita itu, tapi tak terlihat reaksi apapun, mungkin dikarenkan musik yang Kara dengar. merasa teracuhkan, ia pun berjalan menuju balkon.
“ huh, mendung? Pantas aja dingin.. “ ia duduk disamping Kara, menggosok kedua tangannya yang terasa dingin. Menyadari atas kehadirannya, Kara mematikan musiknya, ia baru menyadari gelapnya langit pada saat itu.
“ gw lapar.. “ ujarnya pelan.
“ maka itu, ayo kita keluar. “ ia sudah berdiri hendak mengambil jaket dan payung.
“ mau hujan nih.. “
“ kan ada payung.. ayo buruan.. “

     Di sekitar Menara Eiffel terdapat lapangan rumput yang sangat luas yang bisa dijadikan tempat bersantai. Tepatnya sebuah taman yang bernama Champs de Mars. Taman yang dikenal dengan suasana romantisnya. Banyak pasangan yang memilih berkencan disana, jadi jangan heran jika mendapatkan pasangan yang sedang berciuman disana. Keindahan Menara Eiffel juga bisa dinikmati dari sana, apalagi disaat malam hari, tentunya akan sangat memanjakan mata. Sejak tahun 2002 menara yang dirancang oleh Gustave Eiffel itu dilengkapi dengan ribuan lampu pada badan menara dan juga terdapat lampu mercusuar pada puncak menara. Pada malam hari lampu-lampu tersebut dinyalakan di waktu-waktu tertentu, dan yang membuat Kara tersenyum, kini ia dapat melihat keindahan lampu-lampu tersebut. Roti yang tadinya mereka beli pun belum sempat ia sentuh. Namun kilauan cahaya kamera menyadarkannya.
“ jangan sembarangan foto gw dong. “ ia menyadari tingkah laku Nudi yang sering memotretnya secara diam-diam.
“ hum.. “ ia langsung mengarahkan kameranya ketempat lain. Terfoto olehnya sepasang kekasih yang sedang berciuman, yang pastinya tidak jauh dari mereka berada. “ wow.. romantis banget.. “ ucapnya, tentunya dengan senyumnya yang menawan dan berhasil membuat Kara tersenyum. “ lu senyum? Lu senyum karena gw? Hem.. lu sudah mulai tertarik sama gw? “ katanya asal.
“ gw bukan senyum, tapi geli lihat lu. Orang ciuman kok difoto sih.. “
“ loh, itu kan seni.. segala macam ekspresi yang diperlihatkan manusia itu pasti ada nilai seninya, lu lihat deh, terlihat dengan jelas rasa sayang yang begitu mendalam dari ekspresi mereka.. “ jelasnya dengan semangat. Mendekatkan dirinya dengan Kara agar dapat dengan mudah memperlihatkan hasil foto yang sudah ia ambil, wanita itu terlihat serius disaat melihat setiap fotonya, tiba disatu foto, seorang wanita sedang duduk disamping jendela nan besar, seperti sedang merenungkan sesuatu, menghadap jendela yang mempertontonkan keindahan Kota Paris. “ tadi malam lu mikirin apa? Kenapa gak tidur? Gak nyaman tidur di sofa? “ sambungnya sambil menatap wanita yang ada disampingnya.
“ lu foto gw? Kok gw gak tahu? “
“ pikiran lu melumpuhkan sistem kepekaan tubuh lu, malam ini biar gw yang tidur di sofa. “ ia kembali memotret apa saja yang menurutnya indah, tidak puas, ia pun memilih berdiri dan berjalan kesana kemari. Kara terlihat tenang dan tetap duduk disana. Diam-diam ia perhatikan Pria yang akhir-akhir ini menemaninya. Ia merasa ada yang berbeda dari pria itu, pria itu terlihat tidak asing, hal itulah yang membuatnya dapat dengan mudah menerimanya. Ia merasa nyaman disaat berada disamping pria itu, Nudi yang sudah terbiasa menggandeng tangannya, mengganggu ketenangannya, padahal mereka baru saja bertemu.
“ gw kenapa ya? Gw gak kenal dengan dia, tapi gw bisa dengan bisa percaya begitu aja, berbagi kamar, kesana kesini berduaan, tangan gw dipegang terus-terusan, kok gw gak nolak? Sepertinya yang aneh itu gw, bukan dia. “ pikirnya. Dari kejauhan terdengar bahwa Nudi sedang memanggilnya, ia seperti sudah terbiasa dengan itu, bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Nudi. “ apa? “
“ jalan-jalan yuk, kayaknya disana bagus.. “ matanya tidak henti-hentinya menelusuri setiap sudut yang ada disana. Taman Champs de Mars yang begitu luas akan sangat disayangkan jika tidak ditelusuri secara menyeluruh. Seperti biasa, Nudi menarik tangannya, perlahan tangannya turun dan mengisi setiap rongga jari wanita itu, menggenggam erat seakan tidak mau terpisah dengannya. Sepertinya mereka lebih romantis dibandingkan pasangan-pasangan lainnya (itu menurut saya, ihihi..)
     Melangkahkan kaki dengan perlahan. Kamera tergantung indah di dadanya. Tangan kirinya memegang payung dan tangan kanannya menggenggam sesuatu. Sesuatu yang sudah menjadi keharusan untuk Nudi menggenggamnya. Hujan turun dengan perlahan, setiap rintiknya semakin mendukung suasana romatis disana. Dinginnya malam membuat setiap pasangan memeluk wanitanya. Dihadapan mereka berdua. Kara terlihat tidak nyaman, ia langsung meminta kepada Nudi untuk segera kembali ke hotel, tetap dengan senyumannya Nudi mengiyakan keinginannya.
     Menikmati segelas teh panas. Minuman kesukaan Kara tentunya. Duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding yang letaknya disamping jendela nan besar itu. Tak terlihat Maru disana, pria itu sedang berada didalam kamar mandi, sudah hampir satu jam ia disana, tetap seperti biasa, tak terdengar apapun disana. Berkali-kali Kara memperhatikan pintu yang tertutup itu, memikirkan apa yang pria itu lakukan disana. Rasa kantuk perlahan menjeratnya, setelah seharian tidak tidur, ia pun memutuskan untuk tidur lebih awal.
“ tadi dia bilang gw tidur di kasur, oke, gw tidur di kasur. “ merebahkan tubuhnya diatas kasur. Sekilas terlihat kerutan pada alisnya, ia sedang memikirkan sesuatu, tidak lama dari itu ia bangkit, menarik selimut dan membawanya ke sofa, malam itu ia memilih untuk tidur di sofa lagi. “ gimana pun juga, dia sudah selamatin gw dari preman itu, gw berhutang banyak sama dia. Oke, gw ngalah.. “ ia langsung menutup matanya dan setelah itu tertidur pulas. Tidak lama dari itu, Nudi keluar dari kamar mandi. Sambil memegang perutnya ia berjalan mendekati kopernya, mengambil beberapa obat lalu meminumnya. Perasaan lega ia rasakan setelah meminum obat itu.
“ anak ini.. huh, dasar. “ melihat Kara tertidur di sofa membuatnya kesal, sudah jelas bahwa tadinya ia sudah menyuruh wanita itu untuk tidur dikasur, sepertinya wanita itu tidak mau mendengarkannya. Dengan tenang ia mengangkat tubuh mungil itu dan memindahkannya ke atas kasur. Menyelimuti wanita itu dengan amat tenang, tersenyum menatap kecantikan wajah yang ada dihadapannya. “ kalau saja gw sehat, gw bakal terus terang dengan lu. “ ujarnya lalu beranjak ke sofa untuk segera tidur.

     Museum Louvre. tempat dimana terdapatnya lukisan mahakarya Monalisa karya Leonardo da Vinci, patung Venus de Milo sampai patung Firaun Ramses II, musuh Nabi Musa. Tidak cukup sehari untuk menjelajahi museum yang merupakan salah satu museum terbesar didunia itu. Memerlukan 10 Euro untuk dapat masuk kedalamnya. Tiket sudah berada ditangan Kara, mereka sudah tidak sabar untuk segera masuk kedalamnya. Terdapat pyramide kaca berukuran besar dihadapan mereka. Pyramid itu dibangun pada tahun 1989. Pyramide itu merupakan pintu masuk utama ke dalam museum.
“ luar biasa.. “ ucap Nudi dengan bangga. Terdapat banyak hasil karya seniman terkenal dunia disana. Nudi yang sudah berkali-kali berlibur ke paris tidak pernah bosan untuk mengunjungi museum itu. Karya seni yang luar biasa akan sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Mengambil banyak gambar pasti akan ia lakuakan, tapi walau hasratnya dalam memotret begitu besar, ia tidak pernah lupa dengan keberadaan Kara. Seperti biasa, kemana pun kakinya melangkah, tangannya tetap menggenggam sesuatu yang sepertinya sudah menjadi keharusan untuknya. Setelah seharian menjelajahi seluruh bagian dalam museum, Meskipun pegal dan cape, namun semua itu terbayar dengan keindahan dan nilai sejarah dari karya-karya seni yang ada disana. Tak lama lagi malam akan tiba. Kara meminta untuk segera pulang, namun Nudi menahannya, ada yang ingin ia tunjukkan kepada wanita itu, sesuatu yang sangat indah jika disaksikan pada malam hari.
     Rasa lelah yang mereka rasakan kembali terbayarkan ketika melihat Piramida de louvre pada malam hari. Gelapnya malam membuat piramida tersebut dapat terlihat dengan jelas, sinar lampu yang berada didalamnya menembus piramida bagian atas sehingga hal tersebut menjadi tontonan yang sangat indah. Ditambah keindahan bangunan yang berada disekitarnya. Mereka berdua tersenyum, sekilas tak terlihat ekspresi lelah diwajah mereka.
“ gimana? Bagus kan? “ tanya Nudi.
“ hem.. lumayan. Gw capek nih, kita pulang aja.. “
“ oke.. “
“ tangan lu kenapa? Kok dingin banget? Muka lu keringatan gitu, kelelahan lu? “ menyadari akan dinginnya tangan yang sedang menggenggam tangannya itu.
“ ah, iya, gw kelelahan, yasudah kita pulang saja. “ melangkah dengan cepat, seakan mengejar sesuatu yang sedari tadi Kara mencoba mencari tahu.
“ pelan dong jalannya, kenapa sih? “
“ perut gw mules, ayo buruan.. “
“ kenapa harus di hotel coba? “ pikirnya dalam hati. Ia hanya bisa mengikuti langkah pria itu, semakin lama tangannya semakin dingin, dapat Kara rasakan, tangan pria itu mulai mengeluarkan keringat dingin. Selama didalam Metro, Nudi berkali-kali memukul dadanya. Disaat Kara menanyakannya, ia hanya mengatakan sesak dikarenakan keadaan Metro yang terlalu ramai. Menurutnya pria itu terlihat aneh. Setiba mereka di hotel, pria itu dengan langkah cepat memasuki kamar mandi, dan seperti biasa, butuh waktu yang lama untuk menunggunya keluar dari sana.
     Dua jam sudah berlalu. Kara sudah lelah menunggu pria itu, dirinya yang seharusnya membersihkan tubuhnya sudah terlanjur tertidur di atas sofa. Nudi belum juga keluar dari sana. Didalam heningnya malam, terdengar suara dari dalam kamar mandi, seperti suara seseorang yang sedang memuntahkan sesuatu, sangat lama, suara itu menghilang seiring keluarnya Nudi dari sana. Wajahnya terlihat lemah, seluruh tubuhnya basah diakibatkan banyaknya keringat yang keluar dari tubuhnya. Berjalan mendekati kopernya lalu mengganti seluruh pakaiannya. Disaat ia hendak tidur, ia kembali kesal melihat Kara berada di sofa.
“ anak ini benar-benar, apa dia gak mikirin kesehatannya? Seharian kelelahan kenapa dia memilih tidur disofa? Apa gw harus selalu memindahkannya? “ celotehnya sembari mengangkat wanita itu ke atas kasur. Setelah ia memasangkan selimut, ia berusaha untuk menegakkan tubuhnya, namun tubuhnya yang pada saat itu begitu lemah, hal hasil ia terduduk dan pingsan, kakinya terlipat diatas lantai dan tubuhnya tersandar ditepi tempat tidur.
     Secercah cahaya mendekat dari sela gorden yang tidak tertutup rapat. Cahaya itu pula yang membangunkan Kara dari tidurnya. Mengucek-ngucek matanya agar dirinya cepat sadarkan diri, berat, kakinya terasa berat, ketika ia melihat ke arak kakinya, ternyata Nudi tertidur disudut tempat tidur dan kedua tangannya menimpa kakinya. Wanita itu terlihat tenang, ia malah mencoba menarik tubuh pria itu keatas kasur. Dapat ia rasakan panasnya tubuh Nudi pada saat itu. Ia segera mengambil plaster untuk meredakan demam. Setelah menyelimuti pria itu, ia keluar dari kamar dan berjalan keluar hotel, mencari makanan hangat yang dapat mengisi perutnya dan juga Nudi. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia mendapatkan restoran yang menyediakan bubur, walau buburnya berbeda dengan bubur yang ada di Indonesia, itu tidak jadi masalah. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya kembali ke hotel. Kosong. Tak terlihat siapapun disana.
“ gw disini.. “ kata seseorang dari arah balkon. Kontras membuat Kara berlari kesana. Dilihatnya Nudi sedang mengotak-atik kameranya sambil sesekali tersenyum.
“ lu, udah sembuh? “ wanita itu sudah duduk disampingnya, menatapnya panik sembari meletakkan makanan yang baru saja ia beli diatas meja.
“ jadi lu yang pasang plaster ini? “ jawabnya tenang sambil meraba keningnya.
“ hem.. “ ia mengangguk.
“ lu beli apa? Kebetulan gw lapar. “ matanya sudah memperhatikan bungkusan yang ada diatas meja.
“ bubur. Buruan makan, biar cepat sembuh. “ ia membuka bungkusan itu lalu diberikan kepada Nudi, tidak lupa juga ia berikan sendok dan juga air mineral.
“ uh.. perhatian banget. Kenapa? Kok lu jadi baik begini sama gw, selama ini lu kan gak berekspresi, Cuma bisa senyum, itu juga beberapa kali. Haha.. “ sambil tersedak ia menelan setiap sendokan bubur yang masuk kedalam mulutnya. Kara hanya menatapnya heran, terbesit rasa penasaran dengan keadaan pria itu. “ kenapa? Ada apa lagi? Apa gw terlihat tampan disaat makan? “
“ gw rasa ini bukan demam biasa.. apa gak periksa ke dokter aja? “ wajahnya terlihat serius.
“ sudahlah, Cuma demam, mungkin karena kelelahan. Lu gak makan? Mau gw suapin? “ katanya sambil menyodorkan sesendok bubur kepada Kara. Wanita itu terlihat salah tingkah, ia malah meninggalkan Nudi dan berjalan kekamar mandi. Ia sadar hingga saat ini dirinya belum juga membersihkan tubuhnya. Tidak perlu waktu lama, setelah ia selesai memakai pakaiannya, ia langsung keluar dari sana. Dilihatnya pria itu sudah berpakaian rapi, dengan kemeja merah hati dan celana biru terongnya. Begitu norak dimata Kara, namun matanya tidak bisa menghindari pemandangan itu, Nudi terlihat tampan dengan setelan maskulinnya.  “ seharian ini lu terlalu banyak natap gw, jangan.. lebih baik jangan.. “ katanya yang saat itu sedang merapihkan kemejanya didepan cermin.
“ ih, pakaian lu norak banget. “ jawab Kara singkat.
“ ini lagi trend kali.. korean style.. dari pada lu, setiap hari berkabung terus.. “ sindirnya yang berhasil membuat Kara kembali menatapnya.
“ kenapa? Gw salah ngomong? Benarkan? “ senyumnya terlihat mencela.
“ lu ngapain pakai pakaian serapi itu? “ katanya berusaha mengganti topik.
“ hari ini kita ke Katedral Notre Dame, makanya harus rapi.. “
“ apaan itu katedral? “ Kara sudah siap memeriksa isi ranselnya, wanita itu sepertinya menyetujui perkataan Nudi.
“ gw sih bilangnya gereja gothik.. ntar gw jelaskan sama lu.. udah selesai kan? “
“ hem.. “
“ ok! “ tidak lupa mengambil ransel milik Kara lalu ia pakai hingga menggantung dipundaknya, setelah itu menarik tangan wanita itu. Perjalanan mereka hari ini pun dimulai.
     Katedral Notre Dame. Inilah titik nol Kota Paris dengan gereja yang memiliki legenda Si Bungkuk dari Notre Dame karya Victor Hugo. Gereja besar yang bergaya gothic itu disebut-sebut sebagai gereja dengan arsitektur terbaik di Eropa. Saat ini selain digunakan sebagai tempat wisata notre dame juga masih digunakan untuk misa. Nudi sedang asik memotret sedangkan Kara memilih duduk disalah satu kursi yang terdapat disana. Ada banyak turis disana, Nudi yang baru saja menyadari banyaknya turis yang berdatangan dengan reflek berlari mencari Kara. Wanita itu tidak terlihat. Berkeliling ia mencari wanita itu tetap tidak terlihat. Ia menyandarkan tubuhnya salah satu pohon yang terdapat disana. Merasakan sesak pada dadanya, berlarian kesana kemari membuatnya kelelahan. Wanita itu, akhirnya ia mendapatkan wanita itu. Kara sedang duduk dibawah pohon yang letakknya tidak jauh darinya berada. Disaat ia hendak mendekatinya, langkahnya terhenti.
“ anak itu kenapa begitu merepotkan? Tapi, sepertinya gw yang membuat keadaan seperti ini, tepatnya bukan gw, tapi hati ini. Kapan gw bisa mengatakan semuanya kepadanya? “ memegang dadanya yang semakin terasa sesak. Setelah menunggu beberapa menit, dadanya kembali normal, ia baru memberanikan diri unutk menghampiri Kara. Wanita itu kaget bukan main, ternyata sedari tadi ia juga mencarinya, tapi karena kelelahan ia memilih duduk disana.
“ lu dari mana aja? Lama banget sih? “ omelannya terdengar manja, ini pertama kalinya Kara mengeluh kepadanya. Pria itu tersenyum karenanya. Ia menarik tangan wanita itu dan membawanya ke suatu tempat. Beberapa waktu kemudian, tibalah mereka disuatu tempat.
     Istana Versailles. Istana Versailles terletak 20 km dari pusat kota paris. Istana itu merupakan istana yang dibangun pada masa kekuasaan Raja Louis XIV. Istana itu juga merupakan salah satu saksi bisu revolusi Prancis pada abad 18. Sayangnya kunjungan ke dalam istana Versailles ditutup pada hari itu. Namun kedatangan mereka tidaklah sia-sia karena mereka masih bisa berkunjung ke taman istana versailles yang tak kalah indahnya. Taman dengan luas mencapai 100 hektar ini dibangun sekitar tahun 1600-an. Taman itu dirancang oleh Andre Le Notre dengan gaya simetris. Di taman itu terdapat berbagai jenis pohon, bunga, dan dihiasi oleh patung-patung yang artistik. Saking luasnya, Di taman itu disediakan jasa transportasi berupa mobil untuk tour atau mengelilingi taman. Butuh waktu yang lama untuk dapat menelusuri seluruh taman itu. Mereka memilih berjalan santai sambil menikmati pemandangan disana. Seperti biasa, Nudi melepaskan tangan Kara untuk mengotak-atik kameranya, setelah itu ia kembali menggenggam tangannya.
“ panas banget sih.. “ keluh Nudi. Kara yang menyadari keluhannya langsung membuka payung yang sedari tadi berada di tangannya. “ uh.. baik banget.. “Nudi mencoba menggoda Kara dengan senyumannya. Namun yang terlihat, wanita itu hanya menatapnya tanpa ekspresi sedikitpun. “ sulit banget untuk bisa melihat senyum lu.. “ wajahnya terlihat murung, tak disangka, Kara tersenyum melihat itu. Pertama kali baginya melihat Nudi murung seperti itu. Senyum yang tergambar dibibirnya membuat Nudi kembali tersenyum dan semakin bersemangat disaat melangkahkan kakinya.
     Sebuah patung berdiri kokoh di tengah taman. Dengan lihai Nudi mengarahkan kameranya ke patung tersebut, tangan kanannya yang masih menggenggam tangan wanita itu tidak menghalangi dirinya untuk memotret apapun.
“ indahnya.. “ pujinya.
“ apanya yang indah? Patung doang juga. “ sambar Kara.
“ selera seni lu payah. Sini, biar gw tunjukan yang lebih indah. “ ia menarik tubuh wanita itu, merangkul wanita itu dan mendekatkan tubuhnya dengannya, lalu ia mengarahkan kamera pada mereka. “ hitungan ketiga lu harus senyum, ingat itu! “ katanya semangat. Tepat dihitungan ketiga kilauan cahaya dari kamera terpancar, Nudi langsung melihat hasil jepretannya. “ mana senyumnya? Senyum dong.. kita ulangi lagi. “ ia kembali mencoba memotret mereka berdua. “ duh.. lu bisa senyum kan? “ keluhnya yang tidak juga melihat senyuman dibibir wanita itu. Kali ini tepat pada hitungan ketiga, sebuah kecupan lembut melayang di pipi wanita itu, kontras membuat wanita itu terdiam, pipinya merona, Nudi yang menyadari itu pun tersenyum puas. Ia melepaskan genggamannya lalu berjalan mendekati patung yang lainnya. Sedangkan wanita itu, ia masih berdiri mematung disana. “ wajah lu memang gak tersenyum, tapi gw yakin, hati lu pasti tersenyum. Pipi lu memerah, apa lu sudah mulai tertarik dengan gw? Semoga tidak.. “ batinnya disaat menghampiri patung lainnya.
“ ada apa ini? Kenapa gw diam saja? Dia, dia cium gw? Oh my god, gila, gw sudah gila, bagaimana mungkin! “ ia berlari menghampiri Nudi lalu memukul pria itu, tidak terlalu keras, sepertinya Kara tidak semarah itu, ia lebih terlihat seperti salah tingkah. Pukulannya malah membuat Nudi tertawa geli. Melihat pria itu tertawa, wajahnya menjadi murung.
“ sudah.. sudah, mari kita berjalan kembali.. “ setelah kembali menggenggam tangan Kara, mereka kembali berjalan. Menikmati indahnya taman itu. Tak ada satupun yang tidak pantas dipandang disana, hanya prilaku para pasanganlah yang menurut Kara sangat mengganggu. Disaat matanya mendapatkan pasangan yang sedang bermesraan, wajahnya kembali murung. “ jangan begitu, dimata mereka kita juga pasangan.. “ ucapnya dengan penuh percaya diri.
     Merenggangkan kedua kaki diatas rerumputan. Menghilangkan rasa letih yang mulai mengganggu mereka. Wanita itu terlihat sedang memandang kearah langit, tersenyum akan indahnya alam semesta. Senyumannya yang sangat jarang terlihat sudah diabadikan dengan Nudi, sebuah jepretan menyadarkannya.
“ jangan foto gw.. “ ucapnya pelan.
“ gw gak foto lu, gw foto senyuman lu.. “ jawabnya santai. Melihat satu persatu hasil jepretannya. Setiap gambar yang ia lihat selalu membuatnya tersenyum. Terlihat keringat mengalir di keningnya.
“ sama saja. Uh, lu keringatan? Udara sejuk begini kok bisa keringatan sih? “ katanya sembari memeberikan selembar tisu kepada Nudi.
“ gak tahu. Nih, pegang kamera gw, gw mau pergi kesana sebentar. Jangan kemana-mana ya, gw gak lama. “ ia sudah berlari yang tidak diketahui Kara kemana arahnya. Wanita itu menatap kamera yang ada di tangannya, ia melihat foto-foto yang tadinya diambil Nudi. Terlihat lagi senyuman dibibirnya. Hampir semua foto disana merupakan gambar dirinya. Ia merasa tersanjung. namun, sebuah foto berhasil membuat senyumnya menghilang, tetapi hatinya yang tersenyum. Sebuah foto dimana tadinya Nudi menciumnya. Ia rasakan detak jantungnya yang semakin kencang, ia menyadari itu, selama ini, disaat Nudi menggenggam tangannya, jantungnya selalu berdetak tak karuan, tapi ia berusaha menepis semua itu, baginya terlalu cepat untuknya berpikir kearah sana. Ia mematikan kamera itu lalu menggantungkannya di lehernya. Satu jam sudah berlalu. Nudi belum juga terlihat.
“ sudah satu jam, gimana sih, katanya gak akan lama.. “ keluhnya. Ia mulai merasakan bosan. Tidak seperti biasanya, dulunya ia sangat menikmati waktu menyendirinya, tapi dikarenakan kehadiran Nudi, akhir-akhir ini Kara mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu. Pria tampan yang memiliki semangat hidup yang membara. Senyumnya yang menawan dan pastinya akan dengan mudah menjerat hati seorang wanita. Didalam keheningan, Kara terperanjat. Ia mengingat kejadian di museum yang lalu, ia mendapatkan kondisi Nudi yang lemah. “ apa mungkin dia sakit lagi? Lagian tadi pagi dia masih demam, ya, gw rasa demamnya kambuh lagi. Duh.. dimana sih dia? “ ia mondar mandir kesana kemari. Mencari sesosok pria yang selama ini menemani hari berliburnya. Setengah jam terlewatkan begitu saja. Kara semakin khawatir. “ gimana ini? duh, no Hpnya pun gw gak punya.. “ kekhawatirannya menurun setelah mendapatkan pria itu sedang berjalan mendekatinya. Kini setangkai bunga mawar berada ditangannya. Pria itu memberikan sebuah mawar untuk permintaan maafnya kepada Kara.
“ sorry udah buat lu menunggu. “ tersenyum ramah kepada wanita itu. Kembali menggenggam sesuatu yang selama ini sudah menjadi keharusannya. Membawa wanita itu pergi dari sana. Tidak jauh dari hotel mereka berada. Mereka menyinggahi salah satu restoran untuk mengisi perut mereka yang mulai terasa kosong. Sesekali pria itu mencoba berbincang dengan salah satu pengunjung lainnya. Membicarakan sesuatu yang tidak dimengerti Kara. Yang hanya ia mengerti, mungkin apa yang mereka bicarakan mengandung lelucon, terlihat dari tawaan Nudi yang renyah. “ kok diam? Kenapa? Gak ngerti ya? Ahahha.. gw bicarain lu.. pria itu bilang kalau kita pasangan yang serasi, gimana? “ katanya disela obrolannya bersama pria asing itu.
“ gimana apanya? “ tanya Kara yang tidak mengerti maksud dari perkataannya.
“ ya dia bilang kita serasi.. “
“ serasi apanya? Sepertinya matanya terganggu. Udah sana ngobrol, gw mau dengerin lagu. “ Kara langsung memakai headsetnya. Menghiraukan pandangan Nudi yang belum juga putus.
“ ya, kita memang gak serasi. Kita bahkan jauh berbeda. “ batinnya. Ia kembali mengobrol dengan pria asing itu. Malam hari mereka habiskan disana, menikmati berbagai macam teh dan juga beberapa kue yang terlihat nikmat. Hari semakin gelap, Nudi memutuskan untuk segera kembali ke hotel.
     Duduk dilantai bersandarkan kasur. Mendengarkan alunan musik melalui headset yang tergantung ditelinganya. Mengacuhkan Nudi yang sedari tadi sibuk membongkar kopernya. Setelah pria itu mendapatkan sebuah botol yang berisikan obat-obatan, wajahnya terlihat tenang, ia langsung meminum obat tersebut lalu mendekati Kara dan duduk disampingnya. Melihat tidak ada reaksi dari wanita itu, ia mencabut salah satu headset dan memakainya.
“ lu dengarin lagu apa sih? “ ucapnya sembari menggantungkan headset itu ditelinganya. Tak terdengar suara si penyanyi disana. “ apaan nih? Musik doang? Piano instrumental? “ perkataannya membuat wanita itu kesal, baginya pria itu terlalu berisik. Kara hendak bangkit dari duduknya, tapi dengan cepat ditahan oleh Nudi. Pria itu menggenggam tangannya dengan erat. “ tunggu dulu..  gak senang banget sama gw. Ntar aja menjauh dari gw-nya, ada waktunya untuk itu kok.. “ masih menggengam tangan itu. Ia kembali memakai headset yang tadinya terlepas, ia juga memakaikan kembali headset tersebut kepada Kara. Mereka mendengarkan musik itu dalam diam. “ gw sedang jatuh cinta.. “ ucapnya pelan.
“ apa? “ tanya wanita itu yang sedikit kaget dengan perkataannya.
“ ia, gw sedang jatuh cinta.. sudah lama sih, tapi sekarang gw semakin mencintai wanita itu. “ ia tersenyum sambil menghayalkan wanita yang ada dipikirannya.
“ oh.. “ hanya itu reaksi yang ditunjukkan Kara.
“ tapi gw gak bisa mengungkapkannya.. “ tambahnya lagi.
“ kenapa? “ Kara mulai penasaran.
“ karena gw gak bisa selamanya menggenggam tangannya. “Nudi menatapnya. Cahaya matanya menggambarkan sebuah keyakinan yang mendalam. “ walau begitu, apa dia masih bisa menerima gw? Gw yang kemungkinan akan pergi meninggalkannya? “ pertanyaan itu membuat Kara bingung. Pria itu seperti berbicara langsung kepadanya. Dirinya yang tidak tahu mau berbicara apa memilih diam. tatapan itu berlangsung sangat lama, kedipan mata dapat terhitung, seakan tenggelam dalam hangatnya perasaan. Rasa nyaman yang dirasakan Kara membuatnya tidak dapat melepaskan pandangan itu. Dan pria itu, perlahan ia mendekatkan wajahnya kepada wanita itu, Kara tidak menghindarinya, sadar atau tidak, wanita itu terlihat tenang, semakin dekat jarak antara wajah keduanya, dapat kara rasakan hembusan nafasnya, sentuhan itu, melekat lembut dibibirnya, dapat ia rasakan juga tetesan air mata yang mengalir dari mata pria itu, ciuman itu berlangsung diiringi alunan piano yang semakin membuat suasana menjadi tenang. Alunan musik terhenti, saatnya musik yang lainnya memanjakan telinga pendengarnya, saat itu Nudi melepaskan ciumannya, kembali menatap kedua mata yang ada dihadapannya. Setelah lama menatap mata wanita itu. Ia mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu meneteskan air mata. “ wanita itu lu.. “ ujarnya dengan tenang. Air mata mengalir dari kedua matanya. “ gw gak pernah punya keyakinan untuk mengatakan ini, keadaan gw membuat nyali gw menipis. “
“ sejak kapan? Sejak kapan lu suka sama gw? “ Kara dapat merasakan kehangatan yang dipancarkan dari matanya.
“ sejak lu belum mengenal gw. Gw akan jelaskan, tapi gak sekarang. “
“ kenapa? “
“ gw gak bisa. Gw ke kamar mandi dulu. “ sebelum ia ke kamar mandi, ia mengambil sesuatu didalam kopernya setelah itu menghilang dari balik pintu. Sesuatu terjatuh dari kopernya, tergelincir mendekati Kara, wanita itu memperhatikan benda yang saat itu ada ditangannya. Sebuah botol yang berisikan obat-obatan.
“ ini, obat ini bukannya sama persis dengan obat milik almarhum nenek? Obat jantung berdosis tinggi? Dia sakit? Sakit jantung? “ air mata kembali membasahi pipinya. Botol itu terlepas dari tangannya, obat-obatan itu pun berserakan dilantai. Pria itu yang baru saja keluar dari kamar mandi kontras mematung didepan pintu. Menatap wanita yang sedang menangisi penyakitnya. Dengan tenang ia menghampiri wanita itu lalu memeluknya. Mengelus kepalanya guna menenangkan wanita yang sudah lama ia cintai.
“ sudahlah, gw gak kenapa-napa.. obat ini hanya penghilang rasa sakit.. “
“ dan berdosis tinggi? “ sambarnya. “ penyakit lu apa separah itu? “ tambahnya.
“ ... “Nudi melepaskan pelukannya lalu menatap kedua mata yang terus-terusan mengeluarkan air mata. Menghapus air mata itu dengan jarinya. “ ya, penyakit gw sudah parah. Dan hidup gw sudah tidak lama lagi. Itulah kebenarannya. “ Kara yang mendengarnya menjadi lemas, pria yang selama ini menemaninya akan pergi meninggalkannya, pria yang sudah menyentuh hatinya tidak bisa bersamanya dalam waktu yang lama. Pria yang dapat dengan mudah membuatnya nyaman terhadapnya, membuatnya melupakan akan kesunyian, membuatnya mencintai pria itu tanpa kesadarannya, akan menghilang dari hadapannya.
“ obat itu, benar-benar punya lu? “
“ kenapa? Lu juga menyukai gw? Benarkah itu? Kapan? Sejak kapan? “ senyuman mulai terlihat diwajahnya.
“ jangan tersenyum. “ ucapnya sembari mengumpulkan obat-obatan yang berserakan dilantai. Sambil tertawa Nudi juga ikutan mengumpulkan obat-obatan itu. Malam itu mereka lewatkan dengan mendengarkan musik instrumental hingga tertidur di atas ambal tebal yang terlentang diatas lantai.
     Mont Marte. Sebuah bukit di utara Paris dengan Gereja Basilika Sacre Coeur berdiri cantik di puncaknya. Sebelum ada Menara Eiffel, inilah tempat warga Paris melihat pemandangan ke seantero kota. Nudi membawa Kara ke ketempat itu untuk menikmati indahnya pemandangan disore hari bersama warga Paris di sana. Dengan setelan kaos berwarna merah yang berlengan panjang, ia terlihat berwarna ditambah senyumnya yang terukir indah diwajahnya. Disampingnya, wanita itu merangkul lengannya, wanita yang memakai pakaian serba hitam itu kini tidak berkeinginan untuk melepas rangkulannya. Disebuah kursi panjang, mereka menghabiskan sore hari disana. Bersama puluhan wisatawan lainnya. Mengabadikan keindahan yang ada dihadapan mereka dengan berfoto bersama.
“ duduklah.. lu terlalu banyak bergerak. “ Kara mengkhawatirkan keadaannya.
“ jangan begitu, gw semakin takut ninggalin lu kalau lu menganggap gw sebagaimana orang sakit. Sisa hidup ini, mau gw lewatkan dengan sebebas-bebasnya, tentunya bersama lu.. “ ujarnya dan berlari menuju keramaian. Meninggalkan Kara yang memang tidak menyukai keramaian. Duduk indah sambil memperhatikan pria yang kini mengisi hatinya. Alunan musik yang sedari tadi membelai telinganya membuatnya tidak konsentrasi dengan pandangannya. Pria itu menghilang. Ia khawatir bukan main, segera ia ambil botol obat yang ada diranselnya, dengan wajahnya yang memucat ditambah ekspresinya yang ketakutan akan ditinggal oleh orang yang ia sayangi, berlari mencari pria itu, tak terasa lagi olehnya rasa lelah yang mulai menyeliputinya, yang ada dipikirannya hanyalah pria itu, keadaan pria itu, Dapat terlihat air mata kecemasan di pipinya, mengalir lembut hingga tak terputuskan.
“ gw disini.. “ suara itu, suara yang selama ini menemani hari-harinya. Diujung tebing, seorang pria berdiri sambil menatapnya, dengan senyuman andalannya ia memanggil Kara untuk mendekatinya. “ sinilah, pemandangan disini sangat indah.. “ wanita itu langsung berlari kearahnya, yang ia lakukan hanya memeluk pria itu. Baru saja ia berpikir bahwa pria itu sudah meninggalkannya. Tapi kini, disaat ia berada didalam pelukan pria itu, ketenangan yang luar biasa menyelimutinya. “ lu kenapa? Kok nangis? “
“ kenapa lu menghilang begitu saja? Gw kira.. “
“ haha.. gw belum mati.. “ jawabnya yang diiringi tawa. Tetapi sesungguhnya hatinya perih mendengar perkataan wanita itu, jika waktu itu sudah tiba, pastinya wanita yang kini ada didalam pelukannya pasti akan lebih sakit dari ini. “ apa seharusnya gw meninggalkan lu lebih awal? Gw gak mau perasaan ini menyakiti lu.. “ pikirnya. Ditepisnya air mata yang hendak mengalir, tidak akan ia perlihatkan air mata yang akan menyakiti hati wanita itu. Ia mencari tempat untuk mereka duduk, tidak jauh dari sana mereka menunggu malam tiba. Bersama sepinya harapan.
     Angin berhembus dengan kencang. Udara dingin menyergap mereka. Takut akan kesehatan Nudi, Kara langsung menarik pria itu dan membawanya kembali ke hotel. Sesampai dihotel ia meninggalkan Nudi dikamar lalu ia pergi mencari makanan dan minuman hangat. Penuh perjuangan untuknya mendapatkan apa yang ia inginkan, hujan yang sedang turun sangat menyulitkan perjalanannya, hingga akhirnya ia mendapatkan semuanya yang ia inginkan, mempercepat langkahnya untuk kembali ke hotel. Tak terlihat siapapun disana. Yang terdengar hanyalah suara isakan dari kamar mandi. Pria itu sedang menahan sakitnya. Kara tersandar lemas didepan pintu, menatap pintu itu dengan airmatanya yang tidak henti-hentinya mengalir.
“ apa sesakit itu? “ pikirnya. Ia terduduk dilantai, masih terus menatap pintu tersebut, menunggu sosok yang selama ini menjaganya keluar dari sana. Satu jam, dua jam, tiga jam, akhirnya pria itu keluar dari sana. Kali ini merupakan waktu terlamanya menunggu pria itu. Melihat wanita itu terduduk dihadapannya, ia langsung merangkul wanita itu dan membawanya ke sofa.
“ lu ngapain disitu? “ katanya cemas.
“ penyakit lu kumat lagi? “ air matanya tak juga habis dan terus mengalir.
“ tidurlah, hari ini lu pasti kelelahan.. “ menarik wanita itu untuk segera berbaring di kasur, namun tangannya ditepis begitu saja.
“ yang gw tanya, apa penyakit lu kumat lagi? “ keseriusannya membuat hati Nudi seakan teriris. Air matanya yang terus mengalir seakan menyirami goresan hatinya dengan alkohol, sangat perih.
“ kara.. “ ucapnya lembut.
“ apa yang harus gw lakukan? Apa yang harus gw lakukan agar rasa sakit itu menghilang dari lu! “ teriakannya membuat Nudi tidak dapat menahan air matanya yang sedari tadi berusaha melepaskan dirinya dari mata.
“ tetap tersenyum, hanya itu yang harus lu lakukan untuk gw.. “
“ tersenyum? Bagaimana mungkin gw tersenyum sedangkan lu menringis kesakitan? “
“ sudahlah.. bagaimana kalau besok sore kita kencan? Menara Eiffel akan sangat cocok untuk dijadikan tempat kita berkencan, dari puncak menaranya kita bisa lihat keindahan kota Paris yang luar biasa.. “ katanya yang berusaha terlihat tegar dihadapan wanita itu.
“ ... “ wanita itu hanya menatapnya. Berusaha untuk tersenyum sesuai keinginan pria itu, tersenyum sambil menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia menyetujuinya. Wanita itu pun tertidur diatas kasur dan berbalutkan selimut, sedangkan pria itu, ia duduk dibalkon sambil melihat kembali semua foto yang telah ia dapatkan. Senyuman dan air mata mengiringi malam itu. Malam yang tidak ingin ia lalui.

     Pagi itu diiringi dengan turunnya hujan. Iramanya yang terdengar nikmat membuat Kara terbangun dari tidurnya, wanita itu langsung berjalan ke balkon untuk menikmati air hujan yang mampu menghiburnya. Baru ia sadari, pria itu tak terlihat disana, ia langsung melonjak kaget dan berlari menelusuri setiap ruangan dikamarnya. kosong. terlihat sebuah surat terletak diatas meja. Dengan cepat ia sambar lalu membacanya.
“ jangan khawatir, gw keluar sebentar, ada sesuatu yang harus gw lakukan, gw sudah belikan susu dan roti untuk lu, jangan lupa dimakan. Ingat, nanti sore datanglah ke menara, gw tunggu lu dipuncak menara, gunakan jubah merah itu, gw tahu kalau lu punya itu, lu harus memakai itu untuk gw. Kecupan lembut dari Nudi. “ setelah membaca surat tersebut, ia menghembuskan nafas yang panjang. Walau begitu, ia belum bisa menenangkan dirinya. Terpisah dengan Nudi seperti itu membuatnya mencemaskan keadaan pria itu. Berhari-hari bersama pria itu membuatnya terbiasa akan kehadirannya. Menunggu sore tiba, ia membuka Hpnya yang sudah lama tidak ia sentuh. Terdapat sebuah pesan, tentunya dari Rena sang sahabat. Ia mulai membaca pesan tersebut.
“ woy, gimana liburan lu? Sombong banget, gak ada kabarin gw sekalipun, jangan lupa oleh-oleh buat gw ya, oh ya, lu jumpa abang gw ya? Abang gw bilang dia sedang bersama lu, selamat bersenang-senang ya, jangan lama-lama, gw kangen banget sama lu. Sampai jumpa miss black.. “ pesan panjang itu pun selesai ia baca.
“ abang? Kapan? Gw bahkan lupa dengan wajah abangnya. “ memasukkan Hpnya kedalam ranselnya. Kembali duduk dibalkon sambil mendengarkan musik kesukaannya. Piano instrumental.

     Seorang wanita berjubah merah berdiri dengan anggun disana. Dari ketinggian 325 meter ia dapat menyaksikan keindahan Kota Paris yang luar biasa indahnya. Senyumnya terbentuk indah. Keinginannya untuk dapat melihat Kota Paris dari puncak menara pun terlaksanakan. Tapi, pria itu tidak kunjung datang. Hampir satu jam ia disana.
“ kemana dia, lama banget, apa sih yang sedang dia lakukan? “ pikirnya. Lelah berdiri terus, ia memilih duduk disalah satu kursi yang terdapat disana. Satu jam, dua jam, tiga jam, bahkan empat jam berlalu begitu saja. Nudi tidak juga terlihat. Kecemasan pun timbul dengan cepat, langit mulai gelap yang berarti hari sudah malam, ia langsung berlari menuju hotel. Berharap dapat menemukan pria itu disana. Menepis semua pikirannya, dengan penuh keyakinan ia melangkahkan kakinya hingga tak terasa lagi dinginnya air hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. Kosong. Air matanya mengalir begitu saja, tak terlihat sosok itu disana.     “ lu dimana? “ ucapnya diiringi rintihan kesedihan.  “ jangan bilang kalau lu sudah pergi.. “ terduduk lemas dilantai yang kini terasa amat dingin baginya. Dilihatnya sebuah amplop diatas meja. Dengan tubuhnya yang lemah ia meraih amplop tersebut dan kembali terduduk dilantai. Membuka amplop tersebut dan melihat isinya. Puluhan foto ada ditangannya. Melihat satu-persatu foto itu, setiap lembarnya terdapat sebuah kalimat dibaliknya, air mata terus mengalir, firasat itu semakin kuat, hingga ia dapatkan foto terakhir, dimana seorang wanita yang memakai jubah berwarna merah sedang berdiri seorang diri dibawah Menara Eiffel. Menatap menara itu dengan penuh pertanyaan. Foto itu di ambil dari belakangnya, itu artinya, tadi, sebelum ia menaiki puncak menara, pria itu ada disana, mengambil gambarnya. Ia langsung dengan cepat membalik foto tersebut dan membaca kalimatnya yang terdapat dibalik foto yang berukuran besar itu.
“ ini foto terakhir yang gw ambil, lu terlihat cantik dengan warna merah, lu pantas menggunakannya, makasih udah mau menggunakannya untuk gw, walaupun gw gak bisa melihatnya dari jarak dekat, karena sekarang adalah saatnya, dimana gw harus pergi meninggalkan lu, maaf.. bakarlah foto-foto ini, jika itu menyakitkan untuk lu, jangan jadikan kepergian gw menjadi penghalang masa depan lu, lu harus raih masa depan yang cerah itu, lu harus perlihatkan ke gw, kalau lu adalah wanita yang kuat. Lu beruntung mempunyai keluarga yang sayang sama lu, sahabat yang baik sama lu, oh iya, titip salam gw sama Rena, ucapkan kata maaf dari gw untuknya, maaf karena gw gak bisa berkata jujur kepadanya, Kara.. lu selalu di hati gw, love you.. “ foto itu berserakan dilantai, tangannya bahkan tidak kuat untuk mengangkat selembar foto pun, kenyataan ini sangat memukulnya, pria yang baru saja ia cintai meninggalkannya untuk selamanya. Hilang sudah masa-masa dimana ia tersenyum karenanya, tak akan terlihat lagi senyuman pria itu, dan juga, genggaman hangatnya yang tidak pernah luput dari setiap perjalanan mereka, pria itu selalu menggenggam tangannya seakan tidak mau kehilangannya sedetik pun. Wanita itu terbaring lemah di atas ambal yang tebal, ambal yang pernah menjadi saksi terjadinya ciuman lembut antara dirinya dan Maru. Kenangan itu menghilang seiring redanya hujan. Tertidur diheningnya malam, seorang diri.
     Pagi ini terasa hampa. Ia telusuri seluruh ruangan, masih mengharapkan akan kehadiran pria itu. Sayangnya sosok itu tidak juga terlihat. Dilihatnya foto-foto yang berserakan dilantai, ia langsung mengumpulkan satu-persatu foto itu. Foto terakhir yang berada ditangannya, foto yang berukuran paling besar dari foto yang lainnya, ia membaca kembali kalimat yang ada dibelakangnya. Baru ia sadari, pria itu menuliskan nama Rena.
“ Rena? Dia kenal dengan Rena? Astaga! Apa mungkin dia.. “ dengan cepat ia mengambil Hpnya dan melihat semua foto yang ada disana, dia ingat sekali, Rena pernah mengirim fotonya disaat bersama abangnya. Sekarang sudah jelas. Ternyata pria itu adalah abangnya Rena. Saudara sahabatnya. Menggenggam telepon genggamnya dengan erat. Menyesalkan ingatannya yang begitu lambat. “ pantas aja gw berasa pernah lihat dia, ternyata.. “ tiba-tiba saja ia terdiam. Terlintas sesuatu dibenaknya. Tidak lama dari itu, ia langsung bergegas menyiapkan semua barangnya dan kembali ke Jakarta. Di bandara Charles de Gaulle ia seperti melihat sesosok wanita yang sangat ia kenal, wanita itu begitu mirip dengan ibunya Rena, tetapi ia tidak berkeinginan untuk menegurnya, pikirannya terlalu lambat untuk berpikir kesana.
     Rumah yang bercatkan merah hati disetiap sudutnya, menjulang tinggi, serupa dengan rumahnya. Perbedaannya adalah warnanya. Warna itu merupakan warna yang sangat disukai Nudi. Perlahan ia masuk kedalam rumah itu, meninggalkan kopernya didepan rumah. Dengan mudah ia masuk kedalam rumah itu. Dilihatnya sebuah foto terpampang indah di dinding rumah tersebut. Sebuah keluarga yang terlihat sangat berbahagia. Tapi, tidak jauh dari sana, ia melihat seorang wanita sedang menangis dengan terisak.
“ Rena.. “ panggilnya lemah. Mendekati sahabatnya itu. “ lu kenapa? “ memeluk sahabatnya dengan lembut.
“ abang gw, dia sudah tiada.. dia meninggalkan gw dan keluarga, selamanya.. “ isakan tangisnya mengiris telinganya. Tetapi, kata tiadalah yang sangat teramat menyakitinya. Tubuhnya seakan membeku, tak terlihat lagi air mata disana, otaknya seakan tak berfungsi lagi. Rena yang melihat keadaannya semakin sedih dan menangis dengan kuat. Air matanya sudah membasahi pakaian wanita itu. “ tadi malam, mama gw dapat berita dari pihak rumah sakit di Paris, mereka mengabarkan berita ini, karena itu mama dan papa langsung kesana malam itu juga. Tinggal gw disini, gw senang banget lu dah pulang.. “ jelasnya.
“ antarkan gw kekamarnya.. “
“ ya? “ Rena terdiam menunggu penjelasan.
“ tolong, antarkan gw kekamarnya. “
    
     Sebuah kamar berwarna merah Terlihat sepi tanpa penghuni. Semua barang disana tertata rapi, seakan sudah tidak tersentuh dalam waktu yang lama.
“Nudi jarang tidur dikamarnya, dia sering tidur dikamar gw.. “ kata Rena. Tapi tidak dihiraukan dengan Kara. Wanita itu malah mendekati komputer yang terdapat disana, komputer yang masih menyala itu memperlihatkan gambar seorang wanita yang pastinya sangat ia ketahui. “ loh, itu kan lu.. “ Rena kaget melihat foto sahabatnya ada didalam komputer tersebut. Kara terus memeriksa setiap gambar yang ada disana. Tangannya berhenti bergerak. Terjawab sudah semua perkataan-perkataan Nudi selama ini. Semua foto yang ada disana merupakan fotonya disaat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ada juga fotonya yang sedang menyiram bunga, fotonya disaat ia sedang merenung dibalkon kamarnya, fotonya yang bersama Rena. Tepatnya seluruh foto yang berada disana adalah dirinya.
“ dia sudah kenal gw selama itu? “ pikirnya.
“ Kara, gw sama sekali gak ngerti dengan semua ini. Tolong jelaskan sama gw.. “ ia bangkit dan menatap sahabatnya yang sedang berdiri kaku dihadapannya. Dengan perlahan ia menceritakan semua kejadian yang ia alamai bersama Nudi disana. Tanpa air mata dan juga kesedihan. Jawaban yang baru saja ia dapatkan membuatnya tegar dan menerima semua kenyataan hidupnya. Setelah ia selesai mengatakan semua, ia keluar dari rumah itu, menarik kopernya dan memakai ranselnya, masuk kedalam rumahnya. Orangtuanya dan adiknya yang melihat tingkah lakunya tidak berani untuk menegurnya. Aura wajahnya terlihat bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. Mereka hanya membiarkannya begitu saja.
     Balkon kamarnya menjadi tempat dimana ia sering menghabiskan waktu disana. Mendengarkan musik, menulis sesuatu yang tidak jelas, merenungkan sesuatu. Keadaan yang sunyi itu membuatnya semakin nyaman. Tiba-tiba saja ia berhenti menulis, ia merasakan sepasang mata sedang menatapnya, tentunya dari balkon yang ada diseberang rumahnya. Jantungnya berdetak kencang, kenangan itu kembali, rasa takut menyelimutinya, harapan itu timbul kembali, harapan bahwa pria itu berdiri disana, menatapnya, tersenyum kepadanya, memotretnya. Dengan berani ia lemparkan pandangannya kesana, kearah balkon kamarnya Rena.
“ woy! Lu sedang apa? Mau sampai kapan lu begitu terus, miss black? Haha.. “ Rena menertawainya. Tawanya menyadarkannya, kenangan itu sudah menjadi kenangan. Tidak perlu disesali, paling tidak ia sudah pernah merasakan bahagianya dicintai.
“ apa lu tau? Ada sesuatu yang bahkan sampai sekarang belum pernah gw katakan dengan lu.. gw.. mencintai lu.. “ ucapnya pelan. Tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Rena yang terus-terusan meneriakinya. Kehidupannya belum berakhir, seperti yang dikatakan Nudi, ia harus meraih masa depan yang cerah, ia harus menunjukkan kepada pria itu bahwa ia merupakan wanita yang kuat. Seperti yang sering dikatakan oleh sahabatnya. Miss Black. Pertemuan singkat itu akan selalu ia kenang.







0 komentar: